Lulusan Teknik Lingkungan Malah Berandil dalam Merusak Lingkungan

 ”Saya pernah menangani client bidang yang membutuhkan teknik lingkungan (2 tahun lalu). kalau untuk fresh graduate itu sekitar 6 juta, untuk pengalaman 1–2 tahun itu 7–8 juta. tapi tergantung juga perusahaannya, ada yang lain yang fresh graduate nya langsung di 7 juta, dan pengalaman 1–2 tahun di 8–10 juta. btw client saya itu hanya mau lulusan teknik lingkungan UI, ITB, dan Uni luar negeri. kalau universitas negeri lain & swasta, mereka sangat pilih-pilih’’  kata Mang Engkus (Nama Disamarkan)

‘’Awal saya bekerja yaitu 2 bulan sebelum wisuda di salah satu universitas swasta ,saya melamar pekerjaan dan diterima menjadi pegawai kontrak di salah satu balai wilayah sungai dengan gaji 5 juta perbulan selama 4 bulan setelah akhir kontrak saya lulus sebagai fresh graduate development program di salah satu kontraktor pertambangan indonesia dengan gaji 8.5 juta setelah 1 tahun pendidikan program maka diangkat menjadi karyawan tetap dengan gaji 2 digit , yang saya terima bersih take pay home. selain itu, untuk kebutuhan sehari2 makan , mess, laundry dll semua ditanggung perusahaan’’ kata Neng Iroh (Nama Disamarkan)

‘’Level fresh graduate di pertambangan itu jangan liat nominal gaji, tapi status karyawan.Kalau karyawan perusahaan inti, benefit tinggal dalam, cuti dibayar, dan jenjang karirnya ada.. Uang yang anda terima itu umumnya bersih, dan total uang yang anda terima tahunan itu bisa 15–20x gaji pokok’’ kata Tante Lepoy (HR Tambang, Nama Disamarkan)

‘’Saat pertama kali kerja di kontraktor sebagai engineer pada tahun 2011, gaji saya 3 juta dan karena penempatan di proyek ada tunjangan 10%, jadi total 3.3 juta. 3 bulan kemudian performa saya dianggap cukup baik, sehingga gaji saya dinaikkan menjadi 4 juta dan tunjangan proyek 10%, jadi total 4.4 juta’’ kata Aming (Nama Disamarkan)

Sebagai mahasiswa, kita di sodorkan, aah, lebih tepatnya ditanamkan—bahwa pendidikan adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik. Namun, bagaimana jadinya jika lulusan-lulusan yang seharusnya punya tanggung jawab moral malah menjadi bagian dari masalah? Ikut andil dalam masalah? Inilah fenomena yang terjadi pada beberapa lulusan teknik lingkungan. Ironinya, mereka yang seharusnya berperan melindungi bumi justru ikut andil dalam merusaknya. 

Di sini, betapa paradoks tengah berlangsung,  dimana pendidikan tinggi tidak berhasil menciptakan generasi penyelamat. Generasi penyelamat yang seharusnya siap untuk menjadi penjaga lingkungan, malah melahirkan lulusan yang justru gamang dengan spesifikasi keahlian di sektor-sektor yang aktif merusak alam, seperti industri ekstraktif, pertambangan-monokultur perkebunan.

 

Visi Lingkungan Jadi Korban

 

Alasan utama mengapa banyak lulusan teknik lingkungan berakhir di industri-industri yang merusak lingkungan adalah biaya pendidikan yang semakin mahal. Semakin naik tiap tahunnya. Semakin mencekik orangtua peserta didik. Di Indonesia, biaya kuliah di jurusan teknik lingkungan di universitas ternama bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Hal ini menimbulkan tekanan finansial “ugal-ugalan” bagi mahasiswa dan keluarganya. Ketika mereka lulus, kebutuhan untuk segera bekerja dan melunasi utang atau membalikan modal biaya pendidikan menjadi prioritas utama. Akibatnya, banyak lulusan yang lebih fokus pada gaji besar secara pragmatis daripada memikirkan dampak lingkungan dari pekerjaan mereka.

 

Di dunia pertambangan, misalnya, gaji yang ditawarkan memang sangat menggiurkan. Seorang insinyur teknik lingkungan di perusahaan tambang bisa mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan bekerja di sektor-sektor lain, seperti LSM lingkungan atau instansi pemerintah yang pro lingkungan (meskipun jarang ada). Alhasil, banyak lulusan teknik lingkungan kian tergoda untuk bekerja di tambang, meskipun mereka tahu bahwa industri ini sering kali bertanggung jawab atas deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem, dll. Pendidikan yang mahal membuat mereka merasa “terjebak” dalam pilihan pragmatis: bekerja demi uang atau idealisme menjaga lingkungan.

Untuk memahami lebih dalam masalah struktural ini, kita dapat mengacu pada konsep Deep Ecology yang diperkenalkan oleh filsuf Norwegia Arne Naess pada tahun 1973. Dalam artikelnya yang terkenal, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement: A Summary”, Naess menekankan bahwa manusia bukanlah pusat dari alam semesta.

 

Sebaliknya, semua bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik yang setara. Manusia dan alam bukanlah entitas yang terpisah; kita adalah bagian dari satu ekosistem besar yang saling terkait. Saling terikat. Naess mengkritik pendekatan antroposentrisme—keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang paling penting dan bahwa alam ada hanya untuk melayani kebutuhan manusia. Arne Naess dalam konsep Deep Ecology mengkritik keras pendekatan antroposentrisme—pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta dan bahwa alam ada semata-mata untuk melayani kebutuhan manusia. Menurut Naess, pendekatan ini adalah akar dari banyak masalah lingkungan modern, karena mengabaikan fakta bahwa manusia hanyalah salah satu dari jutaan spesies di planet ini yang saling bergantung. 

 

Arne Naess dan kritiknya

 

Kritik Naess lainnya juga sangat relevan terhadap konsep globalisasi, teori modernisasi, dan tahap dependensi. Globalisasi seringkali mengutamakan ekspansi ekonomi dan industrialisasi tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam teori modernisasi, perkembangan diukur melalui pencapaian material dan industrialisasi, yang secara implisit mendukung eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. 

 

Teori dependensi menyoroti bagaimana negara-negara berkembang dijadikan sumber bahan mentah bagi negara maju, tetapi mengabaikan bagaimana ketergantungan ini menyebabkan degradasi lingkungan yang parah. Bahkan, dalam teori sistem dunia, struktur hierarki ekonomi global justru memperburuk kerusakan ekologis, dengan negara-negara pusat yang kaya memperluas konsumsi mereka di atas penderitaan ekosistem di negara-negara pinggiran. 

 

Semua pendekatan ini berbagi kekurangan besar—mereka memandang alam sebagai sumber daya yang tak terbatas, alih-alih ekosistem yang harus dijaga demi keseimbangan kehidupan di bumi.

 

Naess juga memperkenalkan ide tentang Kesetaraan Biosentrisme, di mana setiap bentuk kehidupan, entah itu tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme, memiliki nilai yang sama dengan manusia.

 

 Dalam konteks ini, industri-industri yang merusak lingkungan, seperti pertambangan, jelas bertentangan dengan prinsip Deep Ecology. Industri-industri ini beroperasi dengan keyakinan ekstraktif bahwa sumber daya alam adalah barang-barang yang bisa diambil atau dikeluarkan sesuka hati tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekosistem. Dan tentunya sumber daya tersebut akan habis dan tidak dapat diperbaharui.

 

Masalahnya, banyak lulusan teknik lingkungan yang justru terjebak dalam pendekatan antroposentrisme ini. Alih-alih memahami bahwa tugas mereka adalah menjaga keseimbangan ekosistem, mereka malah berpikir bahwa alam bisa dieksploitasi sejauh mata memandang, sejauh mendukung pembangunan dan mencukupi kebutuhan serta keperluan manusia. Mereka kehilangan visi ekologis yang seharusnya menjadi inti dari profesi mereka. Padahal, sesuai dengan pemikiran Naess, setiap tindakan yang merusak ekosistem sama artinya dengan merusak diri kita sendiri karena kita adalah bagian dari alam itu sendiri.

 

Kearifan Ekologis adalah Keterkaitan

 

Naess juga menekankan pentingnya Kearifan Ekologis, yaitu pengetahuan yang didapat dari pengalaman langsung dengan alam. Dalam pandangan Naess, ilmu pengetahuan modern sering kali terlalu abstrak dan terlepas dari kenyataan di lapangan. Para ilmuwan, termasuk insinyur teknik lingkungan, sering kali lebih tertarik pada data dan grafik daripada pada pemahaman mendalam tentang hubungan ekologis yang kompleks di antara berbagai spesies dan habitat. Akibatnya, banyak lulusan yang berpendidikan tinggi, tetapi kurang memiliki pemahaman nyata tentang pentingnya menjaga ekosistem yang utuh.

 

Contohnya, ketika lulusan teknik lingkungan bekerja di industri tambang, mereka mungkin menganggap bahwa mereka dapat “memperbaiki” kerusakan lingkungan setelah proses ekstraksi selesai. Mereka diajari tentang teknologi rehabilitasi lahan dan manajemen limbah, tetapi mereka sering mengabaikan fakta bahwa kerusakan ekologis yang terjadi sering kali tidak dapat diperbaiki sepenuhnya. Hubungan-hubungan ekologis yang terputus akibat aktivitas pertambangan, seperti hilangnya habitat hewan dan tumbuhan, tidak bisa dipulihkan hanya dengan menanam pohon kembali. Ini adalah salah satu contoh bagaimana pendekatan yang dangkal terhadap masalah lingkungan sering kali merusak lebih banyak daripada memperbaiki.

 

Naess menyatakan bahwa kita harus menghormati hubungan-hubungan ekologis yang rumit ini. Ketika satu bagian dari ekosistem rusak, keseluruhan ekosistem bisa terpengaruh. Namun, sayangnya, banyak lulusan teknik lingkungan yang gagal memahami keterkaitan ini karena mereka lebih berorientasi pada hasil jangka pendek, seperti keuntungan finansial dan karier pribadi.

 

Nuansa Pendidikan dan Kapitalisme

 

Pada dasarnya, fenomena lulusan teknik lingkungan yang malah merusak lingkungan adalah krisis visi yang disebabkan oleh kapitalisme dalam pendidikan. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat di mana mahasiswa belajar untuk berpikir kritis dan memahami masalah-masalah global, kini sering kali lebih berfokus pada meluluskan mahasiswa yang bisa segera bekerja di dunia industri. Mahasiswa teknik lingkungan, yang seharusnya menjadi penjaga bumi, justru didorong untuk menjadi roda penggerak dalam mesin kapitalisme yang merusak lingkungan.

 

Dalam hal ini, kritik Derrida terhadap konstruksi sosial berargumen bahwa banyak dari apa yang kita anggap sebagai kebenaran atau nilai dalam masyarakat sebenarnya adalah hasil dari konstruksi sosial yang dibuat oleh mereka yang berkuasa. Pendidikan tinggi, dalam konteks kapitalisme, telah menjadi sebuah konstruksi sosial yang menekankan pada kesuksesan material dan karier daripada tanggung jawab sosial dan lingkungan. Mahasiswa diajari bahwa sukses adalah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tanpa memperdulikan dampak pekerjaan tersebut terhadap lingkungan atau masyarakat.

 

Kapitalisme di dunia pendidikan mendorong mahasiswa untuk berpikir secara pragmatis, mengabaikan prinsip-prinsip ekologi yang seharusnya menjadi dasar profesi mereka. Ini adalah contoh bagaimana sistem pendidikan kita tengah berjalan, yang seharusnya mendorong pemikiran kritis dan tanggung jawab moral, justru memperkuat konstruksi sosial yang menempatkan keuntungan finansial di atas nilai-nilai lain.

 

Mewujudkan Ekologi Dalam

 

Dalam pemikiran Naess, Deep Ecology tidak hanya tentang pemahaman konseptual, tetapi juga tentang Aksi Langsung. Menjaga lingkungan tidak bisa hanya dilakukan melalui wacana di ruang kelas, rapat-rapat, dan atau kegiatan formal. Ini harus melibatkan tindakan nyata yang melindungi dan mempertahankan alam dari kerusakan lebih lanjut.

 

Bagi lulusan teknik lingkungan, ini berarti sudah seharusnya mereka berani menolak dan tidak tergiur bekerja di industri-industri yang merusak lingkungan, meskipun industri tersebut menawarkan gaji tinggi. Mereka harus mengedepankan nilai-nilai ekologis di atas nilai-nilai material. Ini mungkin terdengar idealis nan utopis, tetapi jika kita tidak mulai dari sekarang, siapa yang akan melakukannya? Bukankah kerusakan lingkungan yang masif hari ini karena generasi pendahulu salah atau telat membuat keputusannya hingga menjadi keputusasaan?

 

Penutup

 

Lulusan teknik lingkungan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga bumi, bukan malah merusaknya. Pendidikan tinggi yang mahal memang menempatkan mereka dalam posisi yang sulit, di mana mereka merasa harus memilih antara idealisme dan pragmatisme. Tentu, menjaga lingkungan adalah tanggung jawab besar bagi lulusan teknik lingkungan. Mereka telah dibekali pengetahuan khusus tentang bagaimana merancang sistem dan teknologi untuk meminimalkan dampak negatif manusia terhadap bumi. Namun, di tengah ancaman nyata yang kita hadapi seperti the sixth extinction, Selama setengah miliar tahun terakhir, telah terjadi lima kepunahan massal kehidupan di Bumi. Para saintis di seluruh dunia kini memantau kepunahan keenam, diprediksi sebagai yang paling besar sejak tabrakan asteroid yang memusnahkan dinosaurus—gelombang kepunahan massal yang diakibatkan oleh aktivitas manusia—tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan kepada mereka.  Setiap disiplin ilmu, mulai dari ekonomi, hukum, teknologi informasi, hingga seni dan sastra, memiliki peran besar dalam mencegah percepatan kiamat ekologi ini. Para ekonom perlu merancang sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan, ilmuwan hukum harus membuat kebijakan yang tegas melindungi alam, sementara para seniman bisa menginspirasi perubahan dengan karya-karya mereka. 

 

Menghadapi ancaman besar seperti the sixth extinction, kolaborasi antar semua bidang ilmu menjadi sangat penting. Kita semua harus mengambil andil, karena krisis ini adalah krisis global yang membutuhkan solusi dari berbagai sudut pandang. Seperti argumen Arne Naess melalui Deep Ecology, dimana kita adalah bagian dari alam, dan merusak alam sama saja dengan merusak diri sendiri. Tantangan terbesar bagi lulusan teknik lingkungan adalah bagaimana mereka bisa tetap memegang teguh prinsip-prinsip ekologi di tengah tekanan kapitalisme dan kapitalisasi pendidikan yang semakin kuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *