Ilustrasi Oleh Mu;aafii Najwan R
Sejumlah SPBU swasta di Indonesia, seperti Shell dan BP, tengah mengalami krisis pasokan bensin sejak awal September. Kondisi ini membuat banyak konsumen kesulitan mendapatkan bahan bakar non-subsidi dan menyebabkan antrean panjang di berbagai lokasi. Beberapa SPBU bahkan terpaksa mengurangi jam operasional serta jumlah karyawan untuk menekan biaya operasional.
Krisis pasokan tersebut terjadi seiring menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas bahan bakar Pertamina. Banyak pengendara beralih ke SPBU swasta karena dinilai menawarkan produk yang lebih stabil dan layanan yang lebih baik.
Namun, situasi kian rumit setelah pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan impor bensin non-subsidi. Dalam aturan itu, volume impor hanya boleh meningkat maksimal 10 persen dari realisasi tahun sebelumnya. Kebijakan ini membuat SPBU swasta kesulitan menambah pasokan di tengah lonjakan permintaan.
Pertamina sebenarnya menawarkan suplai bahan bakar melalui skema business-to-business (B2B). Namun, sejumlah perusahaan swasta enggan mengambil pasokan tersebut karena beberapa kendala teknis, seperti kandungan etanol 3,5 persen yang dianggap tidak sesuai standar serta belum adanya sertifikat asal impor.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai pembatasan impor bisa merugikan konsumen sekaligus memperkuat posisi dominan Pertamina di pasar. KPPU menekankan, jika akses impor bagi swasta tidak diperluas, masyarakat akan kehilangan alternatif bahan bakar non-subsidi, sementara aspek harga dan kualitas menjadi sulit terjamin.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM menegaskan bahwa stok BBM nasional dalam kondisi aman. Meski demikian, di lapangan masih ditemukan sejumlah SPBU swasta yang mengalami kekosongan pasokan. Kementerian ESDM menyebut sedang menyiapkan mekanisme baru pengadaan BBM bagi SPBU swasta yang direncanakan berlaku pada 2026 untuk mencegah kelangkaan serupa di masa depan.
Sejumlah ekonom menilai, ketidakselarasan kebijakan energi ini dapat mengurangi kepercayaan investor asing. Kehadiran SPBU swasta seperti Shell dan BP sejatinya merupakan bagian dari investasi jangka panjang yang diharapkan membawa standar layanan internasional. Jika pembatasan impor dan distribusi terus berlanjut, bukan tidak mungkin perusahaan global meninjau ulang komitmennya di Indonesia.
Isu mengenai kualitas bahan bakar juga memperkeruh keadaan. Beberapa pihak menduga bensin Pertamina mengandung etanol tanpa penjelasan yang jelas kepada konsumen. Pemerintah membantah tudingan tersebut, namun kurangnya transparansi dinilai menambah keraguan publik terhadap monopoli distribusi energi nasional.
Kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah agar membuka ruang impor yang lebih luas bagi pihak swasta. Langkah itu dinilai dapat mendorong persaingan sehat, meningkatkan efisiensi, serta memberi masyarakat lebih banyak pilihan bahan bakar. Sebaliknya, jika dominasi hanya dikuasai Pertamina, peluang inovasi dari perusahaan swasta akan semakin terbatas.
Krisis pasokan di SPBU swasta ini mencerminkan persoalan mendasar dalam tata kelola energi nasional, mulai dari kebijakan impor yang kaku, dominasi Pertamina, hingga kurangnya koordinasi antara pemerintah dan sektor swasta. Tanpa solusi yang transparan dan adil, konsumen tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Narasi Oleh Farah Dhiya H. dan Fikri Raffi A.D.