Ilustrasi Oleh Luthfi Mahendra
Semen Indonesia Group (SIG) memperkenalkan produk semen hijau atau ramah lingkungan melalui kegiatan sosialisasi kepada pelaku industri konstruksi. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen BUMN tersebut dalam mendukung target pemerintah menurunkan emisi karbon di sektor industri, khususnya pada bidang material bangunan.
Dalam forum sosialisasi, perwakilan SIG menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan peta jalan menuju 2030 dengan mendorong pemanfaatan semen rendah emisi. Produk semen hijau disebut mampu menurunkan emisi karbon hingga 21–38 persen dibandingkan dengan semen konvensional jenis Ordinary Portland Cement (OPC). Sosialisasi ini direncanakan berlangsung selama beberapa tahun ke depan untuk menjangkau perusahaan berskala menengah hingga besar. Salah satu pembicara dalam acara tersebut menambahkan, meski kondisi pemerintahan sedang penuh tantangan, perhatian terhadap isu lingkungan masih tetap ditunjukkan.
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai inisiatif ini masih menyisakan pertanyaan. Di satu sisi, semen hijau dianggap langkah nyata yang dapat mengurangi jejak karbon industri konstruksi. Namun, di sisi lain, aktivitas seperti penambangan nikel, penebangan hutan, dan ekspansi infrastruktur dinilai tetap menyumbang kerusakan lingkungan yang besar. Kontradiksi ini memunculkan dilema: apakah program hijau ini lahir dari kepedulian lingkungan yang tulus, atau sekadar upaya menjaga citra di panggung global?
Semen hijau telah mulai digunakan dalam sejumlah proyek strategis, termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Kementerian PUPR menegaskan bahwa penerapan material ramah lingkungan di sektor konstruksi menjadi bagian dari kontribusi Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi pada 2030 sesuai komitmen Paris Agreement. Selain itu, SIG juga terus mendorong inovasi energi alternatif, seperti pemanfaatan RDF dan biomassa, untuk mengurangi ketergantungan pada batubara dalam proses produksinya.
Sejauh ini, belum ada regulasi resmi yang menetapkan penghentian total produksi OPC pada 2030. Pemerintah hanya menegaskan komitmen untuk meningkatkan porsi penggunaan semen ramah lingkungan dalam proyek pembangunan. Karena itu, langkah SIG dipandang sebagai inisiatif awal menuju transisi hijau. Program ini di satu sisi memberi harapan bagi terciptanya industri semen yang lebih berkelanjutan, namun di sisi lain, skeptisisme tetap muncul selama kebijakan lingkungan secara menyeluruh belum menunjukkan ketegasan.
Beberapa pakar menegaskan bahwa keberhasilan transisi hijau tidak bisa hanya bergantung pada inovasi produk semata. Pemerintah dinilai perlu berani menegakkan regulasi yang konsisten, baik dalam pengendalian emisi industri maupun dalam upaya mencegah kerusakan ekosistem lainnya. Tanpa langkah tegas tersebut, inisiatif seperti semen hijau dikhawatirkan hanya menjadi etalase ramah lingkungan di panggung global, sementara kerusakan alam tetap terjadi di balik layar
Bagi sektor konstruksi, peralihan menuju produk ramah lingkungan membawa sejumlah konsekuensi. Perusahaan berskala menengah hingga besar perlu menyesuaikan standar produksi, biaya material, serta rantai pasok. Jika penerapan dilakukan secara konsisten, semen hijau berpotensi membuka pasar yang lebih luas, terutama pada proyek internasional yang semakin menekankan komitmen keberlanjutan. Namun, bila kebijakan pemerintah tidak konsisten, industri dikhawatirkan akan kesulitan menghadapi proses transisi ini.
Pada akhirnya, semen hijau dapat dipandang sebagai simbol dua sisi pemerintah: di satu sisi menampilkan kepedulian terhadap kelestarian bumi, namun di sisi lain tetap lekat dengan praktik eksploitasi sumber daya. Pertanyaan yang tersisa adalah, sisi mana yang akan lebih menentukan arah sejarah lingkungan Indonesia di masa mendatang?
Narasi Oleh Fikri Raffi A.D. dan Farah Dhiya H.