Dari Tradisi Jadi Tragedi: Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk Saat Pengecoran

1

Ilustrasi oleh Zaella T. Fahriza

Bangunan musala tiga lantai di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk pada Rabu (1/10/2025) saat para santri tengah melaksanakan salat berjamaah. Runtuhnya bangunan terjadi ketika proses pengecoran lantai atas dilakukan, menyebabkan struktur utama tidak mampu menahan beban tambahan dari campuran beton yang masih basah.

Puluhan santri tertimpa material reruntuhan akibat kejadian tersebut. Tim SAR gabungan bersama Basarnas Surabaya langsung diterjunkan untuk melakukan evakuasi. Hingga siang hari, sebanyak 120 santri berhasil diselamatkan, sementara 66 lainnya masih dalam proses pencarian intensif di bawah puing-puing bangunan.

Kepala Seksi Operasi Kantor Basarnas Surabaya, Didit, menyebut bahwa kondisi bangunan sangat tidak stabil dan menyulitkan tim untuk menjangkau korban yang masih merespons dari dalam reruntuhan.

  “Masih ada korban yang merespons. Kami terus berupaya, posisi korban masih terhimpit. Kami sudah mencoba menggapai tangan korban namun belum bisa menariknya. Kami mohon doa dari masyarakat agar survivor yang masih merespons ini bisa segera dievakuasi dalam keadaan selamat,” ujar Didit.

Salah satu wali santri, Ajeng, ibu dari Haikal — korban yang masih merespons hingga Selasa malam — mengungkapkan rasa syukur ketika mengetahui anaknya masih hidup, meski ia juga sudah pasrah bila harus menghadapi kemungkinan terburuk.

  “Langsung senang karena ada harapan, tadinya down banget, apalagi tahu anak saya tertimpa beton besar. Tapi kalaupun anak saya tidak ada, saya ikhlas. Soalnya anak saya waktu meninggalnya itu salat, dengan husnul khatimah,” ujarnya kepada CNN Indonesia.

Usai kejadian, muncul dugaan bahwa ambruknya musala berkaitan dengan tradisi “hukuman ngecor” bagi santri yang melanggar aturan pondok. Beberapa santri menyebut bahwa mereka pernah diminta membantu proses pengecoran bangunan sebagai sanksi, meski sebenarnya sudah ada tukang yang menangani pekerjaan tersebut.

  “Kalau ada santri yang ketahuan bolos, biasanya dihukum bantu ngecor. Tapi sebenarnya kami hanya ikut saja, karena tukangnya sudah ada. Santri tidak wajib, cuma disuruh bantu kalau kena hukuman,” ungkap seorang santri yang enggan disebutkan namanya kepada Radar Sidoarjo.

Bupati Sidoarjo, Subandi, mengakui bahwa tradisi gotong royong di pesantren sudah lama ada, namun perlu dievaluasi agar tidak menimbulkan risiko keselamatan.

  “Ya, ini tradisi lama, bentuk gotong royong sejak dulu. Tapi nanti akan kami imbau supaya anak-anak tetap belajar secara maksimal. Rasa gotong royongnya boleh ada, tapi jangan sampai kegiatan itu membahayakan,” kata Subandi dikutip dari Kumparan.

Dari sisi teknis, peristiwa ini mengindikasikan lemahnya penerapan standar keselamatan kerja dan mutu struktur. Proses pengecoran tanpa pengawasan tenaga ahli bisa menyebabkan kesalahan distribusi beban dan penurunan kekuatan material, terutama jika beton belum mencapai umur dan kekuatan optimal. Dalam konstruksi bertingkat, kesalahan kecil dalam pengecoran atau perakitan bekisting dapat memicu kegagalan total struktur.

Nasruddin, perwakilan dari Kementerian Agama, menegaskan bahwa pembangunan fasilitas pondok pesantren harus mematuhi standar bangunan dan peraturan teknis yang berlaku.

  “Insya Allah ke depan kami akan menciptakan kondisi agar pembangunan pondok pesantren sesuai dengan standar dan peraturan yang berlaku. Kan kita sudah punya standarnya,” ujarnya.

Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak, turut meninjau lokasi dan menyebut bahwa kondisi struktur yang melengkung menjadi tantangan bagi tim penyelamat.

  “Balok yang melengkung panjangnya mencapai sekitar 10 meter. Kalau disentuh sedikit bisa tambah ambrol. Maka dari itu kami perkuat lagi tim dari dua kota lain,” ujar Emil.

Hingga kini, proses pencarian dan evakuasi masih terus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari keruntuhan tambahan. Tragedi ini tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga santri, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya penerapan prinsip keselamatan konstruksi sesuai standar teknik sipil. Pembangunan fasilitas pendidikan dan keagamaan harus memastikan penggunaan material yang layak, tenaga kerja profesional, serta pengawasan teknis yang ketat agar insiden serupa tidak kembali terjadi.

Narasi Oleh Cinta Lintang Sophia, M.Rafi Alamsyah, dan Rehan Kurnia Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *