Suatu Petang di Bulan Juni



Alangkah menderita, sebab tatap mata laki-laki itu tak berdaya. Di tengah pertandingan sepak bola piala Rektorat yang digelar petang dalam suasana milad Univetsitas. Kostum hijau melawan kostum hitam saling jual beli serangan. Matanya menatap tajam ke arah lapangan sambil sesekali membetulkan celemeklusuh dipundaknya, kosong berkecamuk amat mendalam.

Lapangan yang konon dibangun setara memenuhi kebutuhan hidupnya selama lima tahun termasuk kebutuhan keluarganya. Lapangan itu juga dikelilingi gedung-gedung perkuliahan, parkiran, dan pepohonan setengah rindang. Seperti uang dan penderitaan yang berulang. Di kota ini, hari ini begitu cerah. Terik matahari hari ini menggigit segala yang berhasil diterangi dan dijangkaunya. Peringai berita keabsurdan perilaku pemerintah negara dan daerah menjadi headline semua berita pagi ini. Beberapa tagar seperti politik dinasti, bencana lingkungan, kemarau panjang, pendidikan mahal, susah air, kematian saat pergi haji dan tagar tragis lainnya yang senada tidak muncul karena tertutup drama dan gimmick ilfuencer sosial media dan piawai penggalangan prestasi prestius suatu daerah telah mengunci rapat informasi yang sebenarnya dibutuhkan.

Rumput terinjak-injak, di setiap helai rumput mahal itu sungguh naas terbenam ke tanah. Bulir keringat pun bercucuran dari tubuh-tubuh itu. Lengkingan panjang napas pemain dan suara komentator dengan kualitas suara serba sederhana beranjak untuk memuji, menertawakan, dan mencela permainan. Berlangsung setengah permainan, orang-orang terus berdatangan. Sementara laki-laki tak berdaya itu masih terdiam.

Anak kecil lari kesana kemari, dibawa oleh ibu muda. Mahasiswa menundukan kepalanya, terlihat seperti semangat belajarnya telah mengendur akibat putus cinta. Dua orang satpam melangkah tidak teratur sambil menikmati pertandingan. Ada pengendara melaju sambil sesekali menengok kearah lapangan. Sekelompok mahasiwa perempuan berkumpul dan melihat pertandingan, berharap dapat berpapasan dengan kekasih barunya. Ada yang bertaruh. Ada yang memilin gawainya. Ada yang tak peduli. Ada yang asik mengunyah jajanan. Begitulah semua manusia disini, mengambil andil dalam memainkan perannya.

Sebelum petang, terlihat Bapak dosen mengajar di dalam ruang kelas, membawa anak perempuan kecilnya mengajar. Karena sang Istri turut berjuang untuk menghidupi keluarga untuk membantunya. Ia mengajar degan pengulangan. Materi yang dibuatnya dua tahun lalu ia sampaikan. Ia selalu menutup rapat-rapat pertanyaan, dengan penjelasan yang stagnan. Ketika pertanyaan dilemparkan oleh mahasiswanya, ia sedikit tersontak meringis, ingin memaki dalam hatinya. Sebelumnya ia mendengar kecil suara anak perempuanya berbisik, bertanya tentang kepulangan. Anaknya merintih berulang ingin pulang. Sambil terburu buru ia menyudahi pertanyaan dari mahasiswa dengan memberikan tugas tambahan.

Pak, aku ingin pulang!

Pak, kapan kita pulang?

Pak, jangan kelamaan?

Pak, ayo pak kita jalan pulang!

Pak, nanti kita mampir beli makanan kesukaan ibu ya!

Bak angin ribut menerpa. Setelah selesai membereskan barang-barang yang ia bawa saat mengajar. Kendati bergegas menuju pintu keluar gedung Fakultas. Jalannya kemudian melengah dan perlahan memelan. Sepintas ia memikrikan bagaimana tentang ”nasib” kelajutan penelitannya setelah selesai melakukan pemberkasan. Mengapa donor kian tidak mengirimkan jawaban kepadanya. Apakah dirinya harus terjun kembali dalam proyek Ibu Kota Negara baru itu. Namun bagaimana bila nanti mahasiswa akhirnya itu mengajukan ingin melakukan bimbingan skripsi. Sementara sudah dua kali lebaran, keluarganya belum pulang ke kampung halaman. Sedangkan si kakak sebentar lagi masuk sekolah menengah. Ia beberapa saat terdiam dalam berjalan menuju parkiran. Semua tak kunjung datang setelah pencapaian menamatkan perkulihaan Master Pengolahan Lingkungan dengan gelar terpuji dari profesor berwarganegaraan Jepang. Lalu lalang didepannya begitu cepat, ia tampak kebingungan. Tak juga diam ini pikiran, pikiran yang amat mencemaskan. Betapa tercampakan nasibnya yang dulu gemilang. Diruntuhkan, dipadamkan, sebuah kenyataan kehidupan.

***

Kembali ke lapangan, bola terpental masuk ke dalam gawang. Setengah pemain dilapangan berteriak.

Mengapa kiper kita bisa kebobolan?

Kalian pasti kalah.


Gawang dijaga!
Baik. Kita pasti bisa tambah gol lagi.


Jangan di idamkan.

Lain kali jangan di depan. Jaga pertahanan.

Mari kita balas.

Begitulah suara samar yang terdengar dari lapangan. Sebab tatap mata laki-laki itu semakin tak berdaya. Perayaan dan teriakan dari dalam lapangan hanya membuatnya bergumam marah. Sementara penonton diluar lapangan kian perlahan-lahan berjalan untuk pulang melewati hadapannya.
Amarahnya memuncak namun tak keluar, menjelma rimpang yang penuh ketahaban tak tertahankan. Tak satupun dari mereka mengahmpirinya. Mengahmpiri kediaman duduk laki-laki tak berdaya itu dan membeli es potong dagangannya.

***

Sedari pagi, setiap pagi sejak azan subuh berkumandang, ia sudah bergegas mengambil es potongnya dari kulkas bekas yang ia beli saat masih bekerja di Industri pakaian. Segera ia menelpon juragan es kristal, untuk mensiasati agar es potongnya tetap segar. Modalnya memang tak banyak, namun senada dengan harga setiap potong es yang dijualnya. Keuntungan pun sangat mepet dengan modalnya.

Keuntungan yang jauh dari kata kecukupan. Hanya cukup untuk makan anak dan istrinya. Terkadang ia tak segan menahan untuk tidak makan seperti anak dan istrinya. Prinsipnya asal mereka senang, itu merupakan kebahagiaan. Antara air susu, gula, perisa rasa, buah dari kebun kecilnya, dan harapan.

Lantas setiap kemarau ia memilih menjual es potong karena ia tak ada pilihan. Di kota ini, bekerja tidaklah menjanjikan. Menempu pendidikan di kota ini, seperti menusukan pisang tepat ke dalam inti jantung, karena biaya pendidikan di kota ini sangatlah tak masuk akal. Ia memang sudah putus sekolah sejak dari sekolah menegah pertama sejak adik-adiknya akhirnya masuk sekolah dasar.

Ia memilih hidup dengan bekerja serabutan untuk bertahan hidup untuk menghidupi enam adik-adiknya sejak saat itu. Terlahir sebagai anak pertama dikeluarga serba kekurangan, membuatnya terbiasa dengan berusaha hidup serba kekurangan. Kadang ia tak pulang, kadang juga tidak makan, dan harus kelaparan demi adik adiknya dapat tersenyum menyambut kepulangannya.

Selama lima belas tahun, ia pernah bekerja di Industri pakaian sederhana yang cukup besar di kota ini. Selama lima belas tahun juga ia berusaha untuk menabung hasil jerih payah keringatnya sebagai buruh. Tentunya ia tekuni dengan tekun untuk menghidupi semua adik-adiknya untuk bersekolah bahkan berkuliah setelah kematian orangtuanya. Tak jarang ia pun meminjam uang ke setan kredit keliling dikampungnya saat tabungannya tak mencukupi kebutuhan untuk menghidupinya. Suatu waktu ia jatuh cinta kemudian menikah dengan teman perempuan satu pekerjaan dengannya. Waktu berlalu, Ia pun naik jabatan hingga mendapatkan penghasilan lebih banyak dari sebelumnya.

Tak lama setelah kelahiran anak pertamanya, krisis ekonomi terjadi. Pemerintahan tak stabil dan banyak mahasiswa yang berdemo dijalanan. Kriminalitas dan premanisme meningkat. Perampokan dan pencurian terjadi hampir setiap hari. Tentunya, penjualan pakaian di industrinya pun ikut menurun. Selama hampir dua tahun, kejadian-kejadian dikotanya ini semakin menghantui setiap orang yang tinggal. Puncak kejadiannya ia pergi ke perusahaannya untuk bekerja, namun pintu gerbang masuk perusahaan di tutup dengan garis polisi bewarna kuning dengan arti berupa dilarang masuk. Semalam perusahan itu dirampok alat-alatnya, semua barang-barang dijarah kemudian gedung itu dibakar termasuk security yang ia kenal akrab terbunuh saat mencegah kerumunan masa masuk ke dalam. lantas amat bingung dan terkejut segera pulang kembali kerumahnya.

Keesokan harinya, ia mendapatkan surat kabar dari perusahaan ia bekerja melalui faximail dari wartel langganan dekat rumahnya. Ia dan istrinya dipecat begitu juga dengan seluruh karyawan lainnya yang bekerja disana. Perusahaan itu bangkrut akibat kejadian kemarin yang menyebabkan seluruh alat produksi perusahan rusak. Ditengah krisis ekonomi yang berlangsung, ketika penjualan perusahaannya mines dan merugi. Tidak ada uang pesangon yang diberikan dari perusahaan diakhir surat kabar yang ia baca. Ia menghela panjang nafasnya mengingat waktu waktu berat itu.

Setiap masuk musim penghujan ia memilih menjual wedang ronde. Setiap berjualan ia memilih menyasar masuk ke dalam kampus. Berharap para mahasiswa dapat bernostalgia dengan es potong yang ia jual. Tak jarang, laki-laki tak berdaya itu mendengar dan menyimak cerita dari mahasiswa yang membeli dagangannya. Salah satu yang paling berkesan ketika seorang mahasiswa perempuan langganannya menghampirinya. Mahasiswa itu berlesung pipit, selalu berpakaian berwarna cerah senada dengan kerudungnya, manis dan putih khas campuran darah jawa dan tionghoa, cukup tinggi dari rata-rata mahasiswa sebayanya, senyum sumringah, berkacamata bulat dan wajah oval, terkesan tipikal mahasiswa yang rajin dan pintar.

Mahasiswa itu mengenakan rok panjang, dengan blazer hitam menutupi kaos kasual bertuliskan ‘’Aku ingin hidup’’. Laki laki itu berkomentar bahwa kaosnya tulisannya bagus karena memilik pesan sederhana dan memilik makna. Mahasiwa perempuan itu bercerita sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Kesedihan panjangnya itu sebab berakhirnya hubungan dengan kekasihnya.

Ia memergoki kekasihnya sedang bersengama dengan kakak tingkatnya saat ospek. Hubungan dengan keluarganya juga berantakan. Ia pun tak dekat dengan salah satu teman dari satu jurusannya. Ia tidak mengikuti segala aktivitas kampus yang tersedia termasuk organisasi kampus. Ia hanya datang kuliah kemudian pulang. Hubungan antara ibu dan ayahnya pun berantakan akibat perceraian ketika ia masih duduk dibangku sekolah dasar. Pikirannya serba berantakan tak karuan. Sebab, sorot matanya membara tajam, penuh kebencian, kesedihan, dan kekecewaan yang menembus lebih dalam dari sorot mata penjual es potong itu.

***

Laki-laki itu hanya tertawa kecil, sambil bergegas dari lamunannya. Ketika mecuri sedikit sorot mata mahasiswa perempuan itu, kemudian ia beranjak untuk mengupas bungkus plastik es potongnya dengan perlahan dan berbicara pada mahasiswa itu.

‘’Biasanya mba maunya rasa coklat, tumben sekarang pesennya rasa stroberi.’’
kata laki-laki itu lirih mencoba menghibur.


‘’Iya pakde, aku lagi ingin rasa stroberi.’’ kata mahasiwa membalas ucapanya.
‘’Aku mau tiga potong ya!’’


‘’Siap nona, Suka rasa stroberi juga kan stroberi sedikit asam?’’ timpal laki-laki
itu.


‘’Hmm…hm.. aku pengen yang asam dan juga kecut’’ ia hanya bergumam.
‘’Dari tadi pagi, asam lambungku naik karena ga makan cukup. sudah dua
harian.’’


‘’Sekalinya perutku terisi, aku malah milih makan rujak yang asam dan kecut itu’’
lanjtunya.


‘’ Oh.. Kok jenengan sendirian, biasanya berdua.. Emang mas pacarnya
kemana?’’ laki-laki itu bertanya kepadanya.


‘’Gatau, mungkin udah mampus dan masuk neraka.’’ jawabnya ketus.


Kemudian percakapan terputus selama beberapa saat, aktivitas jual beli di jalan
depan parkiran kampus itu terhenti sejenak. Hening sesaat.


‘’Menurut pakde, kebahagiaan itu apa?’’ tanyanya secara tiba-tiba.
Laki-laki itu tersontak dari aktivitasnya kemudian menjawab.


‘’ Menurut saya, kebahagiaan adalah saat memotong es potong ini.’’


‘’Karena dengan memotong es potong ini, saya dapat melihat pembeli es potong
saya antusias dengan bernostalgia. Es potong ini juga rasanya cukup
membahagiakan. Karena saya pakai bahan-bahan yang saya tanam sendiri
dengan penuh kasih dan kesabaran saat merawat tanaman buahnya.’’


‘’Berkat berjualan es potong ini, istri dan anak saya bisa makan dan melanjutkan
hidup seperti biasanya tetapi tergantung karena setiap orang dapat memaknai
kebahagiaannya masing-masing.’’

Laki-laki itu memaknai kebahagiaan dengan memotong. Tak peduli seberapa banyak potongan yang ia lakukan. Namun pekerjaan itu sudah ia tekuni kurang lebih satu dasawarsa terakhir sejak ia mulai menjual es potong. Sedangkan mahasiswa perempuan itu hanya tertegun mendengar setiap kata demi kata dari mulut laki-laki itu dan merenunginya kemudian pergi meninggalkan parkiran dekat lapangan di universitas itu. Setelah kembalinya ke indekosnya yang tak jauh dari pintu masuk kampus, kemarahannya menajdi sangat memuncak. Tak satupun es potong yang ia beli tadi yang ia makan hingga berubah menjadi air berwarna merah dan merembas jatuh ke lantai kamar indekosnya. Ia hanya menatapnya tajam penuh kekosongan. Ia mempunyai trauma dengan darah. Saat kecil, ia sempat melihat ayah dan ibunya mengalami kecelakaan hebat. Hingga ayahnya lumpuh dan tak mampu bekerja dan menghidupi keluarganya. Selain disalahkan akibat kejadian tersebut, ayahnya kemudian digugat untuk diceraikan oleh ibunya.

Semenjak ia mempertanyakan berulang tentang kebahagiaannya yang tak pernah ada dan nyata. Mempertanyakan mengapa dirinya tak pernah bahagia dan penuh kesialan. Ia pun putus asa. Kemudian ia bergegas mencari sebilah pisau yang terdapat di dapur kediamannya. Ia merenungkan setiap perkataan bapak penjual es potong di kampusnya tadi. Ia mengingat jelas mungkin kebahagiaan akan lahir dengan memotong. Kemudian ia tak sadar mulai memotong-memotong barang barang yang ada disekitarnya. Termasuk memotong jari-jari tangannya satu persatu. Dimulai dari sisi bagian kiri tangan hingga ke kaki. Ia tak merasakan apapun kecuali kebahagiaan. Darah kemudian mengucur deras memenuhi kamarnya. Ia tak teriak dan memekik sedikitpun. Ia merasakan suatu rasa menyakitkan yang tak pernah dirasakannya namun membuatnya merasa lebih hidup. Saking merasa hidup kembali menggugahnya, disaat bersamaan semua bagian tubuhnya hampir terpotong menjadi sangat berantakan. Potongan demi potongan bagian tubuhnya jatuh dari kasur hingga memenuhi seluruh sudut kamar indekosnya. Dengan bergairah karena merasa lebih hidup, ia pun perlahan merasakan pusing dan lemas karena tubuhnya kekurangan begitu banyak darah. Dengan berteriak lantang meneriakan suara panjang. Ia terikan tulisan yang ada pada kaosnya. Ia tersengal-sengal dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya yang terdengar sangat tak jelas, ia memikmati bagaimana ia memotong bagian tubuhnya yang terakhir.

‘’Ak.…u Ing……………in…. Hid……………up.’’

***

Setelah petang berakhir, hari berikutnya tiba. Cuaca pagi hari ini sangat terik namun udaranya begitu sejuk. Meskipun lagi-lagi seperti biasanya, hari amat sulit untuk ditebak. Namun ia jalani saja seperti hari-hari sebelumnya. Laki-laki penjual es potong itu berjalan menuju kampus seperti biasanya untuk menjajalkan es potong buatannya. Didepan pintu masuk kampus, sambil mendorong gerobaknya itu ia tertegun karena melihat sekerumunan orang beramai-ramai mengerumuni salah satu indekos yang berada di dekat pintu masuk kampus. Ada banyak mobil polisi, mobil inafis, mobil media sekaligus ambulans mengahalaginya untuk masuk. Terdengar suara kencang samar-samar dari seorang rektor berbicara. Terdengar dari kejauhan ditengah kerumunan, katanya kampus ini ditutup sementara. Mahasiswa yang berkuliah hari ini diliburkan. Tidak ada aktivitas kampus karena semua civitas akademika disini sedang berduka. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun salah satu mahasiswa terbaik kita telah berpulang bertemu sang Pencipta. Dan kejadiaan ini sangat memukul kita semua. Sebagai bentuk duka dan tanggung jawab kita, proses otopsi dan evaluasi akan kita lakukan hari ini sampai selesai. Kita akan melibatkan semua pihak profesional dan dukungan dari kelompok masyarakat bahwa dari kejadian ini, dunia pendidikan kita menghadapi ‘’Darurat Bunuh Diri’’. Darurat bunuh diri ini agar dapat disyiarkan teman-teman media ke seluruh pelosok negeri. Tak lama seseorang dari dalam indekos berteriak dari dalam yang kemudian memecah kerumunan; ‘’AWAS HATI-HATI MENGANGKAT KEPALANYA!’’.

Penulis: Zain N. Haiqal

Ilustrasi: Bisma Adhi Kurniawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *