Teror terhadap Tempo: Alarm Bahaya bagi Kebebasan Pers

Ilustrasi oleh Alya Citrarini

Teror terhadap Tempo bukan sekadar ancaman terhadap satu media, tetapi juga alarm bahaya bagi kebebasan pers di Indonesia. Insiden ini menunjukkan eskalasi ancaman terhadap jurnalis yang semakin brutal dan terang-terangan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin teror semacam ini menjadi pola yang berulang untuk membungkam media lain yang kritis terhadap kekuasaan.

Pada Rabu, 19 Maret 2025, Francisca Christy Rosana—wartawan desk politik sekaligus host siniar Bocor Alus Politik—menerima paket berisi kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo. Ini bukan pertama kalinya jurnalis mengalami intimidasi, tetapi metode yang digunakan kali ini mengarah pada teror psikologis yang serius. Mengirimkan kepala babi bukan hanya bentuk ancaman fisik, tetapi juga simbol penghinaan dan upaya menanamkan ketakutan.

Di negara demokrasi, pers adalah salah satu pilar utama yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Tugasnya adalah mengawasi pemerintah, mengungkap kebenaran, dan menyuarakan kepentingan publik. Namun, ketika jurnalis yang menjalankan tugasnya justru diancam, itu menandakan ada sesuatu yang salah dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka. Bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya bahwa kebebasan pers masih terjamin jika ancaman seperti ini terus terjadi?

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah respons dari pihak-pihak yang justru seharusnya membela kebebasan pers. Pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, yang menyarankan agar kepala babi tersebut “dimasak saja” bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga menunjukkan sikap abai terhadap ancaman serius ini. Ini bukan soal bercanda atau menyepelekan, tetapi tentang bagaimana negara seharusnya menindak tegas segala bentuk teror terhadap kebebasan berpendapat.

Ancaman terhadap Tempo tidak berhenti di situ. Pada Sabtu, 22 Maret 2025, kantor Tempo kembali menerima teror berupa paket yang dilempar dari gang sebelah kantor pada pukul 02.11 WIB. Paket yang dibungkus dengan kertas kado itu berisi enam ekor tikus dengan kepala terpenggal. Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menegaskan bahwa kiriman bangkai tikus ini semakin memperjelas bahwa redaksi Tempo sedang menjadi target teror.

Sebelum pengiriman paket tersebut, Tempo juga menerima ancaman melalui media sosial. Pada 21 Maret 2025, akun Instagram @derrynoah mengirimkan pesan berisi ancaman yang menyatakan akan terus meneror Tempo “sampai mampus kantor kalian.” Fakta bahwa ancaman ini dilakukan secara terang-terangan di ruang publik menunjukkan bahwa pelaku merasa tidak takut dengan konsekuensi hukum. Ini menjadi tanda bahwa penegakan hukum terhadap kekerasan terhadap jurnalis masih sangat lemah.

Menurut Setri, teror ini bukan hanya serangan terhadap Tempo, tetapi juga terhadap kebebasan pers secara keseluruhan. Jika tindakan ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden berbahaya. Hari ini Tempo yang diteror, besok bisa media lain, atau bahkan individu yang berani menyuarakan kritik.

Bayangkan jika pers tidak lagi bisa bekerja dengan bebas. Kita tidak akan mendengar suara korban ketidakadilan yang butuh pembelaan. Kita akan hidup dalam ketidaktahuan, hanya menerima informasi yang telah disaring oleh mereka yang berkuasa.

Dan jika itu terjadi, kita tidak hanya kehilangan kebebasan pers, tetapi juga kehilangan hak kita sebagai warga negara untuk mengetahui kebenaran. Kita akan hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh narasi satu arah, di mana suara yang berseberangan dipaksa diam. Itulah saat di mana demokrasi tidak lagi memiliki makna, dan masyarakat hanya menjadi penonton di panggung kekuasaan yang tak tersentuh kritik.


Narasi: Alya Citrarini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *