Dari Nawacita ke Nawa Bencana: Indonesia Emas 2045 Hanya Angan-angan?

Aksi gejayan memanggil yang disuarakan oleh sebagian mahasiswa kembali diselenggarakan pada Sabtu (16/12/23).

Aksi ini menyuarakan tentang kinerja Presiden Jokowi selama 2 periode berlangsung, demonstrasi tersebut dilakukan dengan berjalan kaki sambil mengorasikan seputar “Nawa Bencana Jokowi” yang dimulai dari depan bunderan UGM menuju simpang tiga Gejayan. Mereka kemudian berhenti dan melingkar diiringi dengan pemasangan tiga spanduk besar di baliho.

Poin-poin pada orasi yang digaungkan sepanjang jalan hingga titik aksi menjabarkan bahwa program Jokowi yang dikenal sebagai Nawacita berubah menjadi Nawa bencana bagi Bangsa Indonesia.

Dari sembilan topik yang diorasikan, terdapat satu topik yang menarik, yakni mengenai pendidikan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki uang, hal ini melahirkan pertanyaan, mengingat Jokowi sendiri selalu sesumbar mengenai program Indonesia emas 2045, “bagaimana lagi-lagi Indonesia emas 2045 akan terwujud jikalau pendidikan hanya dikhususkan bagi segelintir orang?”. Hingga kini pendidikan hari ini tidak setara dan merata, mereka yang mendapatkan pendidikan hanya orang-orang yang memiliki harta kekayaan saja. Harga yang harus dikeluarkan untuk bisa menempuh Pendidikan tinggi di Indonesia sekarang sudah semakin tinggi, sehingga rakyat-rakyat yang kurang mampu semakin sulit untuk menyentuh pendidikan tinggi.

Jika membahas pendidikan kurang lengkap rasanya jika tidak menyinggung permasalahan upah. Diterapkannya UUD Cipta Kerja yang memperburuk kondisi kerja dan melenggengkan politik upah murah. Sedangkan pemodal besar dimanjakan dengan kemudahan izin usaha dan lingkungan. Di Yogyakarta sendiri upah minimumnya, bahkan apabila menabung selama delapan belas tahun orang tua belum tentu bisa mengkuliahkan anaknya di perguruan tinggi. Ketimpangan yang amat terasa ini membuat kesenjangan dalam hak merasakan bangku perkuliahan makin terasa. Dengan demikian, bagaimana para intelektual muda dapat menciptakan dan membawa perubahan bagi Indonesia, karena akses pendidikan tinggi itu sendiri sudah ditutup dengan aturan-aturan yang sistematis.

Tak hanya itu, dibungkamnya suara warga sipil oleh alat-alat negara yang berada di bawah kendali rezim ini, sehingga aspirasi masyarakat seolah dianggap tidak lagi diperlukan dalam membangun negeri. Peran masyarakat sipil seharusnya menjadi oposisi dan menekan kembali pemerintah masuk ke dalam koridor yang sebenar-benarnya, tapi dilihat hingga hari ini peran masyarakat Indonesia terus dikebiri dan terus dibungkam. Mereka yang ingin mengekspresikan kebebasan berpendapat selalu dibungkam dengan suapan-suapan yang tidak jelas substansinya dengan permasalahan yang ada.

“Kami juga menuntut kepada negara agar mewujudkan pendidikan gratis untuk semuanya, karena pendidikan gratis adalah tanggungjawab negara yang sudah sesuai konstitusi, ini adalah tugas negara untuk mencerdaskan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mewujudkan pendidikan gratis.” tutur Restu Baskara selaku Humas ARB (Aliansi Rakyat Bergerak).

Dewa Adi Wibawa yang juga humas ARB menambahkan bahwa Presiden Jokowi tidak mengkhianati partai politik apapun tetapi mengkhianati cita-cita rakyat dan reformasi.

 

“Jokowi memang selama ini dinarasikan sebagai pengkhianat tapi dalam hal ini Jokowi tidak mengkhianati partai politik apapun, Jokowi mengkhianati rakyat, mengkhianati cita-cita reformasi dengan melakukan kejahatan demokrasi, menghancurkan demokrasi dengan bentuk kriminalisasi aktivis, penangkapan aktivis, membungkam kebebasan bersuara,” tutur Dewa.

Narasi: Alya Citrarini, Faris Ahmad A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *