Kekacauan ekosistemik telah datang tanpa permisi. Manakala terakhir kali anda merasakan planet kita menjadi sepanas ini. Sepanjang penghujung tahun 2023 anda telah menghadapi kenyataan dengan merasakan kenaikan suhu yang sangat signifikan.
Dalam catatan Uni Eropa Copernicus, suhu global rata-rata berada 1,7 derajat lebih tinggi diatas suhu rata-rata di bulan Desember ini. Bulan ini merupakan Desember terpanas sejak 125.000 tahun lalu. Rekor suhu di tahun 2023 tercatat seiring kembalinya musim “El Niño”.
Fenomena siklus cuaca empat tahunan ini menyebabkan pemanasan permukaan air di bagian timur Samudera Pasifik. Rekor suhu yang memanas yang terjadi tahun ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan kemunculan El Niño saja. Hanya sebagian kecil data kenaikan suhu yang berasal dari wilayah yang terbawa El Niño. Sebagian besarnya berasal dari wilayah yang berbeda-beda.
Panas yang terjadi tahun ini seperti di Kanada, AS, Asia atau Eropa tidak ada hubungannya dengan El Niño melainkan berkaitan dengan darurat iklim yang disebabkan oleh gencarnya fenomena kapitalisasi industri, ekstraksi sumber daya alam, dan privatisasi lingkungan hidup dengan dalih bertajuk percepatan pemulihan ekonomi yang merujuk pada maraknya kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran hutan yang terjadi di hampir seluruh benua.
Laporan tersedia dari Copernicus, laju pemanasan global telah mencapai rata-rata sebanyak1,43 derajat Celcius dibandingkan masa pra-industri sebelumnya. Buontempo mengatakan, batas kenaikan sebesar 1,5 derajat celcius yang ditetapkan pada Paris Agreement di tahun 2015 lalu, yang akan terlampaui sebelum tahun 2030. Meski begitu, ilmuwan meragukan target tersebut bisa ditepati.
Pertanyaannya sekarang lebih berkisar pada bagaimana kita bisa kembali ke bawah angka ini setelah melampauinya nanti. Dengan rata-rata pemanasan global lebih dari 1,5 derajat, ancaman risiko dengan munculnya bencana ekstrem yang meningkat secara drastis. Diperkirakan, angka kematian akibat suhu panas ini akan meningkat sebesar 370 persen pada tahun 2050. Itu pun jika peningkatan rata-rata suhu global tetap bertahan di bawah dua derajat celcius.
Sekelompok ilmuwan internasional menegaskannya dalam jurnal ilmiah bertajuk “The Lancet”. Seandainya sekalipun kita berhasil menurunkan emisi hingga ke titik nol, kita akan tetap menghadapi iklim yang telah berubah pada satu dekade mendatang, yakni lebih banyak kekeringan, gelombang panas atau bencana banjir. Apapun yang kita lakukan, se-agresif apapun kita bertindak untuk melindungi diri dari dampaknya, kita kemungkinan sudah terlambat memutuskan menghambat kemusnahan masal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kenaikan suhu terjadi tidak hanya di udara, namun juga suhu di permukaan laut. Dilansir dari United Nation Environmental Program (UNEP), sekiranya terdapat 20 negara penghasil sumber daya penting termasuk Amerika Serikat, Cina, Rusia dan Uni Emirat Arab berencana untuk menambah produksi minyak, gas dan batu bara hinggatahun 2030. Jika demikian, jumlah pencemaran emisi CO2 yang berlangsung kini dapat diprediksi akan mempercepat kenaikan suhu rata-rata sebesar dua derajat Celcius yang menjadi batas kiamat iklim yang memungkinkan kita hadapi.
Ini bermula sekitar satu dekade lalu ketika konflik di Suriah menjadi hal paling buruk dalam 20 tahun terakhir. Nyatanya terdapat 6.000 orang mengungsi tiap harinya ke Eropa akibat dari perubahan iklim dan kekeringan di tengah terjadinya perang saudara di Suriah.
Pergerakan secara populis membuat kepanikan hampir seluruh negara di bagian Barat akibat banyaknya imigran yang memaksa masuk ke negaranya. Di waktu mendatang, cepat atau lambat, akan ada sekitar 140 juta pengungsi dari Afrika Sub-Sahara, Amerika latin, dan Asia Selatan di tahun 2050. Estimasi ini lebih banyak 100 kali lipat dari jumlah pengungsi yang terjadi di Suriah.
Dengan kenaikan 2 derajat saja di Bumi tahun 2030, bilamana eksplorasi sumber daya tidak terbarukan terus diproyeksikan dan berlangsung secara ugal-ugalan dilakukan sehingga akan melepaskan emisi lebih banyak bersama dengan destruksi pada penyangga terakhir dari resapan emisi. Angka-angka kecil yang terus kita perdebatkan beberapa tahun terkahir ini, dalam konferensi bertajuk lingkungan hidup dan iklim antar negara setiap tahunnya hingga tahun 2030 nanti ujung-ujungnya akan sia-sia. Pengalaman dan ingatan sejarah manusia akan kepunahan tidak memberikan batasan dalam berpikir secara radikal untuk lebih serius dalam mencegah kepunahan yang sedang berlangsung. Panel-panel besar itu sangat minim partisipasi masyarakat kelas rentan dan penyintas. Kenyataannya hanya akan menelan ongkos mahal serta menghamburkan-hamburkan anggaran yang sebaiknya digunakan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian kenaikan suhu secara besar-besaran dengan dorongan nyata secara kolektif.
Di kenaikan dua derajat celcius yang akan terjadi nanti, lapisan es akan mulai hancur, 400 juta orang akan mengeluh dan merasakan kekurangan akses pada air, kota-kota besar akan menjadi tak layak huni, dan daerah paling utara akan menghadapi gelombang panas yang akan menewaskan ribuan orang ketika musim panas datang.
Saat suhu naik tiga derajat, Eropa Selatan akan mengalami kekeringan secara permanen, kekeringan juga akan terjadi di Afrika Utara yang berlangsung selama sembilan belas bulan, sedangkan di Karibia akan berlangsung dua puluh satu bulan lebih lama dalam menghadapi kekeringan. Kebakaran hutan di kawasan Sub Tropis akan terjadi enam kali lipat lebih besar. Selama kekeringan berlangsung, kasus demam berdarah akan bertambah sebanyak delapan juta kasus serta masyarakat dunia akan menghadapi krisis pangan panjang dan ancaman kesehatan.
Selama tahun 2021, kita menyaksikan banjir besar melanda berbagai negara di berbagai benua. Yang paling ekstrem terjadi di Eropa Barat setidaknya melanda delapan negara meliputi Jerman, Luksemburg, Belanda, Belgia, Prancis, Swiss, Italia, dan Inggris. Saat air meluap akibat kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer semakin tinggi dan membuat suhu rata-rata global meningkat drastis.
Tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer global telah mencapai 420,99bagian per juta (part per million/ppm) hingga Mei 2022. Angka itu meningkat 11,95%dari dua dekade sebelumnya sebesar 375,93 ppm. Peningkatan suhu rata-rata global juga telah membuat permukaan air laut menjadi naik. Hingga 11 Mei 2022, tercatat permukaan air laut telah meningkat 62,3 milimeter (mm). Hal ini menyebabkan bencana banjir tak dapat terbendung dan menenggelamkan beberapa pulau kecil di dunia termasuk ancaman di Indonesia.
Di Indonesia, sebanyak 115 pulau berskala sedang dan kecil terancam hilang akibat naiknya permukaan air laut. Yang paling fenomenal ialah fakta bahwa Jakarta sebagai ibu kota akan segera tenggelam. Selain Jakarta, terdapat beberapa pesisir yang terancam tenggelam sama rentannya yakni Semarang, Pekalongan, dan wilayah utara Pulau Jawa. Fakta mencengangkan lainnya ancaman tenggelam di 2050, mengancam Pangkal pinang, Medan, Mamuju, Dongala, Gorontalo, Kotawaringin Barat, Kapuas, Pontianak, Ketapang, Barito, Banjar, dan kota-kota padat penduduk lainnya. Penetrasi kenaikan air laut di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 3-8 mm per tahun.
Hal yang tidak bisa kita hindari bahwa Es di wilayah Antartika berangsur-angsur terus mencair. Catatan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada 27 Juni 2023 lalu, menunjukan bahwa luas laut es hampir 2,6 juta kilometer persegi atau dibawah rata-rata sepanjang tahun ini. Luas tersebut 20 kali dari luas Pulau Jawa. Pulau tersebut memiliki luas sekitar 128.297 km persegi. Perubahan pada kriosfer dapat mengubah pola sirkulasi atmosfer, menyebabkan salju dan curah hujan ekstrem, yang dapat memicu banjir bandang dan semburan danau glasial.
Insiden serupa di Pakistan telah menewaskan lebih dari 1.700 orang di bulan Juni dan November tahun 2022. Lebih dari dua juta orang kehilangan rumah. Nilai kerugian diperkirakan mencapai lebih dari USD15 miliar atau sekitar Rp234 triliun. Kerugian antara lain dipicu kenaikan muka air laut akibat kepunahan kriosfer.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal ilmiah Nature, sekitar 410 juta orang yangtinggal di daerah pesisir dan pulau-pulau dataran rendah bakal menghadapi tingkat banjir berfrekuensi ekstrem akibat naiknya air laut pada tahun 2100. Tidak hanya mengancam manusia, hampir satu dekade ini masyarakat dunia menghadapi fakta bahwa satwa liar bersikopunah keitka laju populasi manusia terus meningkat. Ditengah Bumi yang serba krisis ini, krisis iklim, krisis air, krisis pangan, krisis keamanan saat bencana hidrometeorologi terus berdatangan.
Sebuah laporan terpisah, yang dirilis oleh Konfrensi PBB untuk memerangi Desertifikasi pada tahun 2022, menemukan bahwa aktivitas manusia telah mengubah 70%lahan bumi, menurunkan hingga 40% lahan. Sebuah studi tahun 2018 menemukan bahwa manusia juga telah mengubah 87% lautan. Di seluruh dunia, populasi mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan menurun rata-rata 68% antara tahun 1970 dan 2016, menurut laporan WWF tahun 2022.
Di Amerika Tengah dan Selatan yang beriklim tropis, populasi hewanturun sebesar 94% selama periode ini. Diperkirakan kerugian sebanyak 44 trilliun dollar–kira-kira sebanyak setengah dari pengeluaran ekonomi tahunan dunia turut terancam oleh menipisnya sumber daya alam. Hilangnya habitat pesisir yang menjadi penyangga alami juga peristiwa cuaca ekstrem berarti bahwa 100-300 juta orang saat ini menghadapi peningkatan risiko banjir dan angin topan. Belum lagi hilangnya serangga penyerbuk, khususnya, telah menyebabkan hampir 430.000 kematian setiap tahun karena berkurangnya pasokan makanansehat, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di tahun 2022 lalu.
Negara-negara sebelumnya bertujuan untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati pada tahun 2020 melalui target Aichi, yaitu seperangkat aturan alam global yang disepakati pada tahun 2010. Namun, semua upaya tersebut berakhir dengan kegagalan kolektif.
Menjelang akhir dekade terakhir – ketika target Aichi kemungkinan besar akan gagal – banyak makalah penelitian diterbitkan untuk mengkaji apa yang diperlukan untuk “membengkokkan kurva” hilangnya keanekaragaman hayati. Meskipun banyak orang mengasosiasikan “keanekaragaman hayati” dengan spesies ikonik dan hutan hujan tropis, istilah ini sebenarnya mencakup seluruh spektrum keanekaragaman hayati bumi, mulai dari susunan gen dalam organisme hingga komunitas hewan dan tumbuhan yang membentuk ekosistem.
Lantas dengan dilema terhadap kepunahan yang tak bisa diabaikan, serta kian menebal ini, langkah apa yang diperlukan masyarakat dunia untuk ‘menghentikan dan membalikkan’ kondisi dari ancaman kondisi ekstrem ini sebelum tahun 2030 tiba?
Oleh : Zain Nabil Haiqal