Tabunya Budaya Literasi di Kalangan Mahasiswa UII

Fenomena Literasi di Kalangan Mahasiswa UII 

Dalam menggali fenomena literasi di kalangan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, saya menemui suatu realitas yang mencengangkan. Ladang ilmu yang seharusnya subur kini terlihat tandus, diwarnai oleh hilangnya dialektika dan penurunan kritisitas seorang mahasiswa. Fenomena ini terkuak ketika saya, saat menjadi Maba, dengan semangat mencari intelektualitas melihat minimnya kegiatan membaca buku di kampus UII. Ruang diskusi seolah menjadi barang langka dan mahasiswa yang tertarik pada literasi merasa seumpama burung hantu disiang bolong. Lebih parahnya lagi, sebuah percakapan dengan teman sejawat, ketika mereka menganggap saya aneh, ini mungkin membaca buku kini adalah suatu hal yang tabu. 

Ini karena mereka lebih memilih menggrogoti waktu berjam-jam dengan menatap layar gawainya sampai mereka lupa berkedip. Fenomena ini merupakan cerminan hari ini. Hal ini disebabkan oleh diskusi dan pertukaran pemikiran semakin jarang terjadi. Atau mungkin kebanyakan mereka terbius dalam dilema trend adu outfit yang bahkan menyebabkan masalah fast fashion, kemudian perpustakaan tampak seperti lorong sunyi, belum lagi buku-bukunya banyak berdebu, menjadi lumutan, rusak dan disergap rayap. Bahkan sampai maling pun enggan mencuri buku-buku itu; untuk membuat dirinya lebih pintar. 

Saya sering berpindah-pindah kelas, berharap menemukan suasana yang lebih dinamis. Namun semua sama saja kosongnya, hining dan sepi. Hanya satu orang saja yang mengoceh terus-terusan, saya tidak megatakannya ‘’itu siapa’’, mungkin selama 4 tahun nanti, sepanjang saya berkuliah di kampus ini. Mahasiswa lulus menjadi lulusan bergelar sarjana yang terdikte secara sistematis. Tidak mengenal benar dan salah. Salah dan benar. Kenapa dan mengapa. Bukankah ini suatu penghinaan bagi kami yang hanya memiliki kelas kecil namun berharap dunia kami luas. Sempit. 

Jikalau pun literasi kita selemah batere HP yang sedang low bat, bisa-bisa pikiran kita terbenam di dalam ‘kuburan ketidak cakapan’. Atau diskusi yang lebih dalamdari lubang sumur, dan bacaan yang lebih merangsang dari kopi pagi yang merupakan kunci supaya kita tidak jadi ‘sarjana linglung‘ yang hanya bisa tuai gelar tanpa arah. Selayaknya superhero namun tanpa kekuatan. 

Sarjana Linglung 

Fenomena lahirnya sarjana linglung selain dari minimnya diskusi dan membaca buku, namun adanya mentalitas dungu yang tertanam diantara pola pikir yang malas, pola pikir serba instan, dan IPK menjadi indikator dari segalanya. Fenomena ini adalah hal yang sebetulnya harus di waspadai dikalangan mashasiswa baru. 

Kecenderungan malas mencari ilmu pengetahuan namun memiliki keinginan tinggi tanpa melewati proses yang panjang, bagi saya itu merupakan sebuah penyakit, sampai-sampai ketika memasuki waktu UTS/UAS nantinya, alih-alih mau belajar sebelum seminggu menjelang ujian, malah ditunda-tunda sampai akhirnya metode hafal menghafal pun digunakan. Alias metode belajar SKS (Sistem Kebut Semalam atau SistemKebut Satu

jam). Padahal seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka bahwa kebiasaan menghafal itutidak menambah kecerdasan, malah menjadikan kita manusia bodoh, mekanis, seperti mesin. Hal ini harus dihindari jika mentalitas serba instan sudah merasuk ke dalam jiwa maka janganlah berharap knowledge dan skill yang telah di pelajari itu akan bertahan lama. 

Jika menginginkan segala hal serba cepat tanpa menikmati proses dan perjuangannya, maka jangan pernah berharap karier anda kedepannya akan cemerlang atau dengan gaji yang tinggi akan bertahan lama. Menikmati mie instan saja, harus menunggu seduhan dan sabar mengaduk bumbunya perlahan. Baru bisa dinikmati dan dihidangkan. Apalagi dalam urusan kuliah, karier maupun kehidupan. Iya kan?! 

Pemberlakukan Jam Malam 

Ketika jam telah berdetak dipukul 22.00 WIB, saatnya mahasiswa UII segera meninggalkan gudang ilmunya. Terbatasnya waktu kunjungan ke kampus yang sempit dan amat sangat disayangkan, terutama bagi mereka yang sedang mengadakan atau mempersiapkan kegiatan dalam mengembangkan dan menumbuhkan kreativitas mahasiswa. Ini seperti merampas separuh ruang mahasiswa untuk tumbuh. Pemberlakuan jam malam dianggap sangat merugikan, padahal ruang kampus bisa dijadikan tempat untuk di tanamkan betul intisari dari sebuah literasi. Seperti agenda seni, musik, diskusi, dan sebagainya dalam menambah wawasan sehingga kehidupan kampus tampak berwarna, malahan adanya aturan jam malam seperti membatasi dan mempersempit ruang-ruang itu. 

Sekiranya bagi saya untuk memanfaatkan ruang kampus sebagai wadah untuk meningkatkan intelektualitas, maka tidak lagi diperlukan adanya pembatasan dalam jam malam sebab kita harus mengingat fakta bahwa harga nongkrong di Cof ee Shop menjadi begitu mahal, ruang-ruang kampus sebisanya digunakan sebagai ajang mahasiswa dapat melakukan diskusi secara leluasa, ragam acara seperti halnya; tiba-tiba seni, maupun kegiatan bermanfaat lainnya. 

Sependek pengalaman saya selama berkuliah, tak luput pula untuk menanggapi waktu pelayanan perpustakaan yang sangat singkat sehingga merenggut tempo pembaca dari kalangan mahasiswa. sebab lagi-lagi adanya pemberlakukan pada batas waktu. Sehingga ketika jam buka dan tutupnya tebatas. Maka perpustakaan sebagai arus muara ilmu pengetahuan mahasiswa dapat terputus. Karena bagi saya perpustakaan seharusnya hadir dalam 24 jam penuh dan tidak kenal tutup. Bayangkan jika perpustakaan khususnya di dalam kampus dibuka dalam 24 jam dan menyediakan layanan yang bagus seperti lampunya diperbanyak agar tak terkesan remang-remang. Ditambah dengan pengawasanCCTV agar dapat terpantau selalu situasinya Peraturan diperjelas dan diperketat dengan sanksi yang tegas jika tedapat pelanggaran. Para stafnya dibuatkan sistemkerja yang baik dengan shift secara teratur serta dengan gaji yang layak. Lalu, sediakan fasilitas penunjang seperti vending machine, internet cepat dan lancar, colokan yang banyak, tempat penyimpanan atau penitipan barang, bahkan kalau dirasa perlu maka warteg sekalian dapat dimasukan. Bayangkan betapa menyenangkannya perpustakaan dengan fasilitas warung makan dengan harga terjangkau, jika bisa maka kalau perlu mendapatkan subsidi bagi para pembaca ulung. Maka, berapa banyak uang yang dapat dihemat olehpara mahasiswa tatkala mengerjakan tugas-tugasnya.

Lantas jika ada pertanyaan yang masuk berupa 

“Bagaimana jika nantinya perpustakaan akan digunakan untuk berbuat hal-hal mesum, kak?!” 

Jawabannya ialah optimalisasi perpustakaan secara paripurna agar perpustakaan kampus dapat dijadi tempat yang ideal bagi mahasiswa untuk mengerjakan tugas. Mengingat belum ada perpustakaan di Yogyakarta yang membuka selama 24 jamnon stop. Makajika pihak kampus UII berani, ini akan menjadi sumber kekuatan bagi kebangkitan literasi disaat carut marutnya berbagai permasalahan yang menjelma di kota pelajar ini. 

Bagi saya, di waktu malam hari merupakan waktu yang paling tepat untuk membaca buku, selain suasananya tenang, kita dapat lebih mudah untuk fokus pada suatu hal yang ingindipahami. Dan hal ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi sebagian mahasiswa yang sedang menggarap skripsinya. Itulah mengapa literasi begitu penting dan pantangan terhadap pembatasan jam di kampus agar dapat membentuk kecerdasan yang hakiki sertaproposional bagi mahasiswa yang sedang berproses dalam pembelajarannya, juga mereka nantinya dapat mengukir jalan menuju perspektif yang lebih dalam tentang intisari kehidupan pada setiap persoalan yang sedang dijejalinya, agar nantinya mereka tidak kaget, stroke pada bagian mesin pikir, dan sisi emosionalnya. Toh ibarat sarjana linglung, agar tidak dibilang omon-omon saja saat datang ke tongkrongannya. 

Ketika buku telah didaulat sebagai mitra setia berkehidupan serta proses dialektika sebagai medan latihannya, dan perjuangan struktural sebagai medan perangnya maka kitadapat membentuk diri sebagai penjelajah makna. Memulihkan literasi serta menjadikan kampus sebagai tempat yang mempromosikan diskusi, kebebasan berpendapat, mengunggah pemikiran kritis, dan melakukan kegiatan yang memperkaya diri dalam setiap sudut dimensi intelektualitas. Hanya dengan cara seperti itu kita dapat memukul ketabuan saat pandemi tabunya budaya literasi yang menguat juga membawa perubahan positif bagi kelangsungan masyarakat dan dunia yang kita tinggali saat ini.

Oleh: Sabri Khatami Can

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *