
International Day 2023 diadakan pada 21 September 2023 hari Kamis lalu di selasar Gedung Perpustakaan Universitas Islam Indonesia. Disana terdapat satu benda yang sangat menarik perhatian yang dipamerkan oleh mahasiswa asing di acara tersebut. Benda itu ialah Dombra asal negara Kazakstan. Dombra atau Dombyra merupakan alat musik berdawai lembut yang pernah lahir diperadaban manusia. Paling awal di Asia. Menjadi semangat perjuangan bangsa Mongolia. Sekilas bentuk Dombra sangat familiar dengan instrumen suku Dayak yakni Sape. Sape berstring tiga sedangkan Dombra hanya terdapat dua.
Mengulik Sejarah Dombra

Ratusan tahun yang lalu, berdasarkan pahatan pada batu balbal, Dombra berasal dari 4.000 tahun sebelum masehi. Akyshey seorang arkeolog lokal megatakan menemukanya pada tahun 1986 sebuah batu kuno bergambar orang-orang yang tinggal didaerah tersebut. Diatas batu tersebut tergambar alat musik didepan lima penari. Alat musik dengan dua telinga dan dengan dua senar dan bagian depannya mirip sekali dengan Dombra. Dombra mungkin merupaak satu instrumen petik di Asia dan eranya yang sangat hidup pada awal abad ke 19. Dombra hadir kemudian menjadi alat musik yang mengambarkan masyarakat Kazakh. Dombra pun kerap menjadi sebuah identitas nasional Kazakh bersama dengan burung berkut atau Golden Eagle yang berarti kebebasan.Untuk menguasai Dombra sepenuhnya perlu berlatih rata-rata selama 7 tahun lamanya.
Dewasa ini Dombra dipopulerkan oleh musisi sekaligus komposer kerakyatan yakni Kazakh Kurmagazy yang berandil dalam budaya bermusik di Kazakhstan. Salah satu yang paling terkenal berjudul ‘’Adai’’. Menafsirkan Adai setelah didengar ialah seperti hentakan semangat, hentakan tabir surya yang mengema seperti logo negara itu Matahari. Dan sepintas juga seperti semangat perjuangan mencari keindahan saat berkuda. Benar adanya bahwa orang Kazakhstan dahulu hingga saat ini bersahabat baik dengan kuda. Mereka berkuda melintasi gurun dan salju. Mereka mengembala menawarkan sebuah hiburan yang yang nyaman dan mudah didengar dalam berdirinya yurta ( dibaca:yurt tanpa a) atau sebuah tenda dari kain, mudah dipecah, mudah dibawa dan dapat menampun banyak orang, mudah dipindahkan, dan diatur kembali. Dombra diwariskan dari generasi ke generasi karena komponen dari Dombra sangat mudah didapat. Dombra terbuat dari kayu untuk badannya dan senar sebagai talinya. Kayu yang populer dalam membuat Dombra terbuat dari kayu cemara, pinus, dan elm. Sedangkan senarnya terbuat dari kulit binatang, urat, atau usus. Namun saat ini sama seperti gitar yakni bahan sitetis maupun tulang hewan yang dikeraskan atau kuningan. Bahan ini digunakan untuk mengahasilkan suara yang cukup berwarna berbeda dan bervariasi.

Meluas ke era modern, Dombra tetap sebagai ratu instrumen Kazakh. Pilihan yang sangat populer bagi pengiring penyanyi tradisonal dan pemain aitys ( sebuah seni improvisasi). Saat ini Dombra Kazakh telah menjadi bagian dari daftar nasional warisan budaya takbenda UNESCO.
Bunyi-bunyian Dombra

Dombra hadir untuk meniru suara alam sebagai representasi kehidupan masyarakat tradisonal Kazakh. Bila didengar dengan seksama saat mendengar bunyi-bunyi hasil dari Dombra kita akan mendengar suara rerumputan stepa, gemercik aliran sungai di pegunungan, kicau burung, hembusan angin, aliran sungai dan tentu saja ringkikan mahluk hidup yang paling dipujan orang Kazakh yakni kuda. Magnum opusnya Dombra yang pernah ditampilkan ialah kui. Sebuah karya epik dengan energi spiritual yang menerjemahkan suatu kondisi yang sangat abstrak juga kondisi melekat pada hati. Suasana hati. Faktanya kui merupaan tandin sybyry atau bisikan Tuhan dan memainkan peran penting dalam beragam acara seperti pertemuan keluarga, kelompok, maupun sosial.
Legenda Berbisik Tentang Dombra

Penghayatan tradisi pada Dombra bermuara sebagai perayaan dan peringatan warisan Kazakh yang sangat performatif dari identitas masyarakat Kazakh. Hal ini sering kali diperkenalkan oleh musisi dengan menceritakan sepotong sejarah, mitologi, atau cerita rakyat Kazakh yang ingin disampaikan oleh musik tersebut.
Dombra ditemukan juga di Monumen Saka, asal Hun, serta di antara banyak suku kuno yang mendiami ruang Eurasia pada periode waktu yang berbeda. Marcopolo juga mencatat dalam catatannya bahwa instrumen ini hadir di antara para pejuang nomad yang pada waktu itu disebut Tatar di Rus’. Mereka bernyanyi dan memainkannya sebelum pertarungan, untuk mencapai mood yang sesuai. Dengan dombra, dengan sejarah asal dan perolehan dombra tampilan modern banyak legenda rakyat yang indah terhubung. Legenda tentang asal usul dombra mengatakan bahwa pada zaman dahulu dua raksasa bersaudara tinggal di Altai.
Adik laki-laki itu memiliki dombra, yang dia suka mainkan. Begitu dia bermain, dia melupakan segala sesuatu di dunia. Kakak laki-laki itu bangga dan sombong. Suatu kali dia ingin menjadi terkenal, dan dia memutuskan untuk membangun jembatan melintasi sungai yang berbadai dan dingin. Dia mulai mengumpulkan batu, mulai membangun jembatan. Dan adik laki-laki bermain dan bermain. Jadi satu hari lagi berlalu, lalu sepertiga. Adik laki-laki tidak terburu-buru membantu yang lebih tua, dia hanya tahu bahwa dia memainkan alat musik favoritnya. Kakak laki-laki menjadi marah, merebut dombra dari yang lebih muda dan, dengan sekuat tenaga, membenturkannya ke batu. Sebuah instrumen yang luar biasa pecah, melodinya terdiam, tetapi sebuah jejak tetap ada di batu itu. Bertahun-tahun kemudian. Orang-orang menemukan jejak ini, mulai membuat dombras baru di atasnya, dan lagi-lagi musik mulai terdengar dalam keheningan untuk waktu yang lama desa.
Legenda tentang perolehan tampilan modern oleh dombra mengatakan bahwa dombra sebelumnya memiliki lima senar dan tanpa lubang di tengahnya. Instrumen semacam itu dimiliki oleh dzhigit Kezhendyk yang agung, yang terkenal di seluruh distrik. Dia pernah jatuh cinta dengan putri seorang khan setempat. Khan mengundang Kezhendyk ke yurtnya dan memerintahkannya untuk membuktikan cintanya pada putrinya. Dzhigit mulai bermain, untuk waktu yang lama dan indah.
Dia menyanyikan lagu tentang khan itu sendiri, tentang keserakahan dan keserakahannya. Khan marah dan memerintahkan untuk merusak instrumen dengan menuangkan timah panas ke tengah dombra. Kemudian lubang di tengahnya terbakar dan hanya tersisa dua senar. Legenda lain tentang asal usul dombra mirip dengan yang sebelumnya. Putra khan setempat meninggal karena berburu dari taring babi hutan, dan para pelayan, karena takut akan kemarahan khan (dia mengancam akan mengisi tenggorokannya dengan timah mendidih kepada siapa pun yang akan memberitahunya bahwa sesuatu yang tidak baik telah terjadi pada putranya) pergi ke tuan tua Ali untuk nasihat. Dia membangun alat musik, yang memanggil dombra, menemui khan dan memberitahunya melalui musik tentang kematian putranya.
Di samping dirinya dengan amarah, sang khan memerintahkan timah panas untuk dilemparkan ke dalam lubang bundar dombra. Dombra adalah instrumen filosofis virtuoso dari Kazakh, di tangan terampil dombra dapat menyampaikan keseluruhan perasaan dan pengalaman manusia, dombra mewujudkan simbolisme ajaran Al-Rabi tentang musik sebagai abstraksi tertinggi yang dapat diakses oleh pemahaman manusia. Anda dapat mendengarkan karya lain yang dilakukan di dombra di sini. Dan beberapa orang Turki di Asia Tengah.
Sania dan Dombranya

Sania mulai memainkan Dombranya yang ia bawa langsung dari Kazakhstan ditengah terik matahari Yogyakarta. Mulai memutar kepala Dombranya untuk mengatur bunyi suara yang dihasilkan. Kemudian ia mulai memainkannya dengan khidmat membuat para penggunjung acara itu terkesima dan terdiam sejenak. Sania terlihat begitu mengkhayati setiap hentakan tangannya disana.
Ia pun menunjukan perasaan yang samar seperti tersenyum sembari mengerutkan dahi beberapa kali ketika Dombranya terus ia mainkan. Bunyinya terkadang bersemangat kemudian berubah derastis menjadi mendayu-dayu kemudian kembali lagi bersemangat dan begitu seterusnya. Sepintas terdengar seperti suara alam yang dirangkum dalam satu irama yang mendebarkan. Begitulah Dombra katanya, sambil ia menatap dengan tatapan penuh makn. Seutas makna tersirat saat mempromosikan budayanya di acara tersebut. Ia juga mengajak khalayak sekitar mengenalakan warisan dan cerita tentang masyarakat Kazakh seperti cuaca, pakaian, dan juga makanan khasnya. Ia pun berkuda terkadang meski ia tinggal di ibukota Kazakhstan yakni Astana. Ini menunjukan Sania sangat mencintai budaya Kazakh sekalipun sedang melancong ke negeri orang.
Narasi: Zain Nabil Haiqal
Editor: Zabrina Kartikaning Palupi