Ayam Jago Tanpa Taji

“Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan di sana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi, mampu menghisap dendam dan sakit hati.”– W.S. Rendra

 

Ekosistemik itu berupa sebuah subsisten konkrit atas matinya gerakan mahasiswa di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII. Realitas yang berbanding terbalik dengan mimpi para pendirinya terdahulunya. Menghamba pada ketakutan untuk mengubah dan berbuat sesuatu yang baik, baru, dan berfokus pada penyelesaian alternatif nan solutif pada akar masalah sosial di masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa telah sampai kini dititik mahasiswanya sangat abai dalam merespon isu terkini.

Fragmentasi yang hadir tak lepas dari temuan-temuan lapangan dengan adanya demoralisasi yang membumihanguskan cara berpikir dan berperilaku ditunjukan dengan; Tumbuhnya panji-panji hedonisme ditandai dengan maraknya aktivitas adu busana dan gaya hidup punya siapa yang paling mahal dan mewah. Berkembangnya mahasiswa berperilaku bak oligarki, bergerak dengan moncong otoritarian tanpa menyadarinya. Hal ini ditandai dengan kepemimpinan terpilih disiasati oleh alumnus dan senior dengan khayalan tentang titah-titah kegemilangan demokrasi. Pandangan dan wajah ruam mahasiswa yang materialis dan individualis dalam menghimpun kepentingan kelompoknya.

Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah usai tentang tidak transparansinya lembaga legislatif dalam praktik kerja-kerjanya. Ini dibuktikan dengan tidak adanya medium seperti situs dan jejaring media sosial yang dapat diakses oleh mahasiswa keseluruhan terkait dengan kinerja-kinerja serta manuver lembaga legislatif di kemudian hari. Matinya medium kritik mahasiswa dengan adanya indikasi kesengajaan yang disengaja. Dimana Pers fakultas beberapa waktu kebelakang terjadi kekosongan namun pendanaan Pers tetap berjalan. Pelecehan terhadap harkat martabat intelektual mahasiswa yang ditunjukan dengan tidak responsif dan tak adanya gairah untuk mengawal isu-isu krisis yang sangat getir untuk direspon secara cepat di tingkat daerah, nasional maupun kancah internasional.

Meredupnya diskusi-diskusi kritis dan sepinya fasilitas terbuka kampus karena terlalu sibuk memilin kegiatan maupun program kerja yang bersifat spontanitas. Minimnya hubungan lembaga mahasiswa dengan gerakan eksternal terutama elemen rakyat kelas rentan. Romantisme gerakan mahasiswa era 90-an yang terlalu digembar gemborkan. Pembatasan mahasiswa dalam mengikuti organisasi mahasiswa eksternal. Akibat pembatasan ini, konsolidasinya hanya disibukan oleh kondisi internal. Sehingga obyektif sosial politik berubah setiap menit bahkan setiap detik. Sehingga kemampuan untuk menganalisa persoalan sangatlah minim.

Komunikasi dan konsolidasi antar lembaga internal juga sangatlah minim sehingga masing-masing lembaga internal sangat eksistensialis. Ketidakmampuan lembaga melahirkan mahasiswa yang dapat menginisiasi gerakan perubahan dan progresif dalam melakukan praktik propaganda-propaganda dan agitasi publik. Neoliberalisasi pendidikan yang mengancam namun dibiarkan. Represif terhadap blok-blok politik praktis tanpa muatan yang jelas. Reaksi-reaksi reaksioner yang timbul akibat kemunduran nilai-nilai ajaran budi luhur agama Islam. Dan juga praksis-praksis lainnya yang menegaskan bahwa mahasiswa FTSP kini merupakan Ayam Jago Tanpa Taji. Problematika ini mulai mengakar tanpa disadari kapan dan darimana bermula. Sebuah entitas perjuangan yang redup dalam kotak pensil pada jam perkuliahan dan perkuliahan usai.

Takrir yang menjadi ujung tombak pertanyaan dan pernyataan yang perlu dijawab dengan anti klimaks. Arnold Toynbee menerangkan dengan lihai lini permasalahan Ayam Jago Tanpa Taji Ini. Dimana Sikap apatis dapat diatasi dengan antusiasme. Dan antusiasme hanya dapat dibangkitkan oleh dua hal: pertama, cita-cita, dengan menguasai imajinasi, dan kedua, rencana yang pasti dan masuk akal untuk mewujudkan cita-cita itu ke dalam praktik. Menimbang apa yang sudah terjadi kita lalu bisa memahami biarpun ada pengkhianat, para penakut, dan mereka yang sudah tak lagi percaya. Bukankah mahasiswa harus berdiri dengan idealismenya. Berani mengkritik dan menerima kritik. Walau ada sedikit takut dan bingung, suara dan perbuatan mahasiswa akan kebenaran itu tak pernah mampu diredam. Suara dan perbuatan yang lahir bukan akibat doktrin, tak pula muncul karena penindasan. Tapi suara itu hadir karena keinginan perubahan dalam keadaan yang sangat pengap. Suara kebenaran yang ingin menembus kabut gelap. Suara yang tak hendak mengutuk kesunyian. Suara yang juga ingin merebut pendengar yang dibesarkan oleh janji, slogan, dan propaganda. Pada tepi tulisan ini suara ini bukanlah suara seekor srigala dan budak, namun suara orang merdeka.

Penulis: Zain N. Haiqal

Editor: Achmad Fauzan M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *