Ilustrasi Oleh Bisma Adhi Kurniawan
Pada awal Juni 2025, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) memperkenalkan konsep rumah subsidi berukuran 18 m² di atas lahan minimal 25 m². Sasaran utama program ini adalah kaum muda dan individu belum menikah yang kesulitan mengakses hunian di kawasan perkotaan akibat tingginya harga tanah. Rumah mikro ini diposisikan sebagai alternatif atas keterbatasan lahan serta meningkatnya permintaan hunian di daerah padat penduduk.
Perbincangan publik mulai mengemuka sejak akhir Mei, terutama setelah Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah menyatakan bahwa desain rumah mikro tersebut masih dalam tahap pembahasan. Polemik semakin hangat usai beredarnya foto rumah 18 m² di media sosial pada 9 Juni, disusul dengan publikasi denah resmi yang viral melalui akun X @ipunk_baik pada 10–11 Juni.
Ketegangan meningkat ketika Lippo Group memperkenalkan rumah berukuran lebih kecil lagi, yakni 14 m², pada 12 Juni. Sehari setelahnya, pihak Kementerian menegaskan bahwa rumah mikro bukanlah pengganti program subsidi yang sudah ada, melainkan opsi tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Namun, sejak uji publik pada 15 Juni yang dipimpin oleh Menteri PKP Maruarar Sirait, kebijakan ini menuai banyak kritik dari kalangan akademisi arsitektur hingga masyarakat umum. Berbagai pihak mempertanyakan kelayakan rumah mikro sebagai tempat tinggal yang memenuhi standar dasar, seperti pencahayaan, ventilasi, dan ruang gerak yang memadai. Menurut para pengamat, langkah pemerintah ini dinilai lebih mengutamakan solusi cepat ketimbang memastikan kualitas hunian yang layak bagi masyarakat.
Direktur Jenderal Perumahan PKP, Sri Haryati, menegaskan bahwa rumah mikro tidak menggantikan skema yang telah berjalan, tetapi merupakan bentuk diversifikasi pilihan. “Ini bukan pengganti, melainkan penambahan fitur. Nantinya, masyarakat yang menentukan pilihannya,” ujar Sri.
Jika direalisasikan, cicilan KPR subsidi dalam program ini diproyeksikan hanya berkisar Rp600.000 sampai Rp700.000 per bulan, jauh lebih ringan dibandingkan cicilan subsidi yang berlaku saat ini sekitar Rp1 juta. Skema ini akan melibatkan lembaga keuangan nasional seperti BTN dan menyasar masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah. Implementasi program ini akan difokuskan di daerah dengan populasi padat, antara lain Cikampek, Purwakarta, Kabupaten Bogor, dan Tangerang. Pemerintah juga sedang menyusun regulasi zonasi serta infrastruktur dasar untuk mendukung kelancaran program.
Kritik terhadap ukuran ruang muncul dari kalangan arsitek dan pemerhati tata kota. Mereka berpendapat bahwa rumah 18 m² terlalu sempit untuk dihuni secara layak. Berdasarkan pedoman WHO, kebutuhan ruang minimal per orang seharusnya mencapai 30 meter persegi. Luas rumah mikro bahkan lebih kecil dari kamar kos standar di kota besar, yang umumnya berkisar 20–25 m². Mereka mengingatkan agar efisiensi lahan tidak mengorbankan kualitas hidup.
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) secara tegas menolak konsep rumah subsidi mikro. Ketua Umum IAI, Georgius Budi Yulianto, menyebut ukuran 14–18 m² tidak manusiawi karena tidak memenuhi standar dasar kenyamanan dan kesehatan, termasuk acuan dari UN Habitat. Menurut pandangannya, kebutuhan ruang sirkulasi minimum di area perkotaan mencapai 4,5 meter persegi per orang, yang membuat konsep hunian kecil ini dianggap kurang layak, khususnya untuk keluarga.
Pengamat properti dan CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, juga mengkritik desain ini sebagai bentuk ketidaktepatan pemahaman pemerintah terhadap kebutuhan pasar. Menurutnya, mayoritas konsumen rumah subsidi adalah keluarga, bukan individu lajang atau pekerja urban. Sementara itu, tokoh seperti Hashim Djojohadikusumo berpendapat bahwa ukuran rumah yang layak seharusnya minimal 40 m², bukan hanya 18 m².
Sementara itu, beberapa pengembang seperti PT Ciputra Development Tbk menilai kebijakan ini sebagai langkah yang positif. Mereka menilai program ini berpotensi menyediakan hunian terjangkau di lokasi strategis. Menurut Sri Haryati, konsep hunian kecil ini tetap menyediakan kamar tidur berdimensi sekitar 3 x 2,6 sampai 2,8 meter. “Ada varian satu kamar tidur dan ada yang dua kamar tidur,” paparnya.
Dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, rumah subsidi akan memiliki luas bangunan 18–36 m² dan tanah seluas 25–200 m², merevisi aturan sebelumnya yang menetapkan batas minimum 21 m² untuk bangunan.
Merespons berbagai kritik, Kementerian PKP menyampaikan keterbukaannya terhadap masukan guna menyempurnakan kebijakan ini. Saat ini, pemerintah masih melakukan evaluasi terhadap aspek desain, tingkat kenyamanan dasar, serta kemudahan akses ke fasilitas umum dan infrastruktur pendukung. Harapannya, rumah mikro tidak menjadi solusi sesaat yang justru menimbulkan permasalahan baru di masa depan.
Menurut Georgius Budi Yulianto, tempat tinggal seharusnya berperan mendorong kesejahteraan yang pantas dan progresif, bukannya memperburuk situasi sosial ekonomi masyarakat.
Narasi : Fikri Raffi Aqilah Darma, Alya Citrarini dan M.Rafi Alamsyah