Warisan Fiksi Kampus Perjuangan

Ilustrasi oleh: Achmad Fauzan
Tentang Menjadi Mahasiswa
Menjadi mahasiswa merupakan satu keberuntungan yang tidak dimiliki oleh semua anak bangsa. Di tanah merdeka ini, tuhan menakdirkan hanya segelintir yang dapat belajar hingga jejang perkuliahan dan menyandang predikat sebagai mahasiswa. ‘Maha’ dan ‘Siswa’. Maha memiliki makna bermakna dari sekedar pelajar. Secara terminologi pun Maha merupakan sesuatu yang tidak akan putus dan terus menerus. Sedangkan siswa berarti pelajar. Ini jelas dua hal yang berbeda dari makna serta esensinya. Dengan kata lain, mahasiswa dapat diartikan sebagai belajar terus menerus. Atau hanya sesuatu yang samar namun jarang terekspos seperti epos dari Yunani yang merangah seseorang agar melakukan suatu tindakan yang dramatik dan kepahlawanan dalam konteks tertentu.
 
Seyogyanya seorang terpelajar harus mampu bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan. Bagi dirinya, orang disekitar, dan orang lainnya. Memikirkannya secara berulang. Memikirkannya kembali serta mengulangnya. Kemudian melakukannya serta memikirkan kembali setelahnya. Proses melanjai dalam berpikir panjang dan mengenali kebutuhan. Perkataanya pun harus berani, keberanian mengungkap kebenaran suatu fakta secara lengkap, luas, teliti, menyeluruh, dan meliputi banyak hal. Tentunya berdasarkan asa yang nyata dan terimplementasi dengan baik. Konjugasi kontekstual bukanlah hanya semboyan intelektual atau cendikiawan muda bukan sebagai bualan belaka. Serta berasal dari ucapan berulang antar mulut ke mulut. Atau sebuah klaim deklarasi inisiatif sepihak dengan menyatakan kebanggan namun kenyataanya dihadapkan oleh kesemuan. Tak luput dari itu, yang dibutuhkan ialah sebuah komitmen kuat dalam inti diri yakni hati. Berani merajang gagasan dengan peran yang seimbang.

 

Bak semut memikul gajah tentu tidak mudah menyandang predikat sebagai mahasiswa yang berdiri di tengah lautan permasalahan yang begitu kompleks secara lokal maupun seantero negeri. Terlebih dari itu menjadi bagian dari mahasiswa yang berkuliah di kampus dengan semboyan “Kampus Perjuangan” ini yakni Universitas Islam Indonesia. UII dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dimana stigma itu terbangun sangat positif dalam perjalanannya. Keberuntungan serta keistimewaan perasan yang lahir bagi setiap insan yang menjadi bagiannya. Namun, apakah keberuntungan dan keistimewaan itu dapat menjelma dan mengalir menjadi kebermanfaatan yang menyentuh semua lapisan masyarakat yang lahir di Negeri ini? Begitu banyak harapan yang digantungkan di pundak untuk mengiringi langkah manusia yang menyandang predikat sebagai “Mahasiswa”.

Lahirnya Kampus Perjuangan
Universitas Islam Indonesia lahir dari rahim para pejuang. Didirikan pada 8 Juli 1945/27 Rajab 1364 H dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI) tepat 40 hari sebelum Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. STI lahir di tengah keadaan ketika perguruan tinggi di Indonesia masih dalam pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini mendasari Tokoh Nasional Indonesia untuk segera mencetus dan merintisnya. STI hadir untuk memperjuangkan persiapan kemerdekaan pendidikan di Indonesia.

Begitulah asal-usul berdirinya Universitas Islam Indonesia yang sejak awal sudah ditanamkan benih-benih perjuangan yang telah mendarah daging dalam tubuh mahasiswanya. Seiring berjalannya waktu, hari berganti hari, serta tahun berganti tahun seperti buah yang tidak jauh jatuh dari pohonnya begitulah UII berjalan dengan segala yang tersulut pada dinamika dan problematika berjalan di lingkunganya. UII bersama dengan mahasiswanya terus menunjukkan mimpi perjuangan yang diwariskan oleh para pendirinya. Setiap masa tentu tidak lekang dari problematika yang ada. Seiring dengan hal ini, mahasiswa UII terus mempertontonkan semangat perjuangan dan perlawanan dengan berbagai cara diperlukan dalam menghadapi problemnya. Sebagai contoh gambaran perlawanan dan pergerakan mahasiswa di Era 70-80an dimana pada saat itu ialah Era Orde Baru dengan segala keterbatasan dan tindakan represif yang diberikan kekuasaan. Hal ini melandasi keresahan dimana Kaum Intelektual merasa pemikirannya direnggut oleh era orde baru. Begitulah ketika Kaum Intelektual dikampus berkumpul dengan mendiskusikan problematika yang terkadang dianggap menjadi ancaman bagi era orde baru.

Karena keyakinan mahasiswa melalui perkataan, kritik, dan perlawanannya lahir lebih tajam dari peluru yang dapat mengganggu jalannya kekuasaan. Oleh karena itu di bawah perintah Soeharto maka kekuasaan mengeluarkan tajinya dengan diberlakukannya berbagai depolitisasi secara massal. Dengan mengubah sistem kelembagaan mahasiswa di Universitas seluruh Indonesia dengan intervensi melalui program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau dikenal dengan Nkk/Bkk. Nkk/Bkk merupakan merupakan kebijakan pemerintahan Soeharto untuk mengubah format ormawa khususnya Dewan Mahasiswa. Dengan upaya seperti itu setiap kampus yang ada di Indonesia dengan mudah untuk dibungkam dan dimatikan secara politis maupun oleh rezim Orde Baru. Namun hal ini nampaknya tidak berlaku bagi mahasiswa UII saat itu dengan keberanian dan kecerdikan mahasiswanya berhasil untuk mengelabui sistem Nkk/Bkk dengan berbagai cara sehingga berbagai macam kritik dan aksi masih dapat terus dilangsungkan sejalan dengan ancaman yang datang dari setiap sudut kampus untuk melumpuhkan keberanian dan gerakan mahasiswa di kedua kampus ini.

Namun di UII telah sampai di titik klimaks ketika perjuangan mahasiswa UII dicederai kebathilan dengan hilangnya satu nyawa pada ‘Tragedi Slamet Saroyo’. Slamet Saroyo terbunuh karena berupaya menegakkan kebenaran untuk menjaga nama suci dan cita-cita pendiri UII. Begitulah sedikit banyak gambaran yang lahir dari perjuangan mahasiswa UII dalam memperjuangkan kebenaran dan perubahan sehingga mahasiswa UII sangat sulit ditaklukkan oleh rezim orde baru pada masanya. Namun entah apa yang membuat warisan ini tidak dapat tertular kepada penerus UII atau generasi UII kini? 

Matinya Perjuangan Itu

Kejamnya perkembangan zaman seolah menyeret kebiasaan manusia pada umumnya terlebihnya kebiasaan mahasiswa itu sendiri. Kembali pada kodrat awal mahasiswa yang mempunyai tugas, peran, dan fungsi yang jelas berupa harapan serta cahaya penerang bangsa dalam membawa perubahan dengan pemikiran cemerlang, sikap nasionalis, dan budi pekerti yang dimilikinya. Namun, semua itu bukankah hanya omong kosong belaka. Entah apa yang menjadi latar belakangnya. Mungkinkah ada aktor dibaliknya. Atau memang zaman sudah bertransisi menjadi begitu kejam?

Pola pikir yang lahir secara pragmatis kenyataannya telah merasuki otak-otak sebagian mahasiswa terikuti dengan doktrin dari berjalannya globalisasi antar generasi. Serta antar budaya, sosial, dan moral. Menurut saya fenomena ini terjadi dikalangan mahasiswa UII sangat mengubah pola pikir secara esensial dan kemampuan mahasiswa dalam melakukan sesuatu. Dimana diantaranya lahir atas dorongan maupun tuntutan gaya serta perilaku hidup secara hedonis dan borju.

Akibatnya sikap mahasiswa menjadi begitu apatis, mengeksklusifkan diri dengan membatasi pergerakan, dan membentengi diri dalam berjejaring ke ranahranah sosial yang lebih luas secara langsung maupun tak langsung karena mereka telah terpaku dengan gap-gap yang sosial hal ini mengakibatkan terkotak-kotaknya hubungan antar mahasiswa untuk bersatu padu menyuarakan sesuatu untuk merebut perubahan seperti generasi sebelumnya. Selain itu sikap apatis mahasiswa juga mempengaruhi pola pikir mahasiswa yang mengedepankan egosentris masing-masing individu yang kurang peduli dengan keadaan sekitar.

Dengan diberlakukannya jam malam merupakan suatu cara kampus untuk membelenggu ruang berkembang mahasiswa, ruang diskusi yang hilang sehingga kreativitas mahasiswa di kampus dibatasi oleh hal-hal ini. Lantas apa gunanya kampus itu berdiri, jika kampus ramai ketika hanya saat jam perkuliahan namun ketika selesai jam perkuliahan itu kampus menjadi mendadak sepi. Apa gunanya ada kampus jikalau mahasiswa masih merasa dikejar-kejar oleh jam malam. Apa gunanya kampus jika kaum intelektual di batasi, hal ini juga membuat mahasiswa lebih memilih untuk berkembang, namun datang ke cafe yang jadi pilihian, yang mana hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja sesuai dengan kemampuan dan dorongan dari orang tuanya.

Begitu juga dengan program-program yang lebih menjanjikan seperti kampus merdeka dan IISMA. Dimana program ini juga hanya dapat dinikmati oleh segelintir mahasiswa saja. Fenomena ini terjadi sama halnya dengan program yang diberlakukan pada saat zaman Orde Baru, dimana mana ruang-ruang mahasiswa dibelenggu dengan tindakan represifitas aparat atas perintah dari pemerintah saat itu. Namun saat ini dengan ditawarkannya program-program seperti halnya Kampus Merdeka dirasa mahasiswa UII lebih menjanjikan sama halnya cara yang dilakukan pemerintah orde baru. Dimana pemerintah kini menerapkannya dengan cara yang lebih halus dan menjanjikan. Meskipun tanpa kekerasan hal ini nampaknya membuat mahasiswa cenderung berpikir untuk mengambil langkah-langkah serta jalan pragmatis dalam kehidupannya selama dibangku mahasiswa. Mahalnya biaya kuliah saat ini, biaya yang sungguh mencekik dan tidak ramah bagi kelas menengah kebawah juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan matinya gerakan mahasiswa saat ini khususnya di UII. Hal ini menuntut mahasiswa agar lebih fokus mengejar kelulusan tanpa memperhatikan keadaan dan masalah sosial yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.

 

Oleh: Achmad Fauzan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *