Kita Sedang Kekurangan Air, Memasuki Situasi Krisis

Ketidakcukupan dan kekurangan air telah diidentifikasi sebagai krisis utama abad ke-21 tetapi secara mengejutkan kita sangat sulit untuk mendefiniskan sifat dari krisis air global yang sedang berlangsung. Fakta bahwa tujuh puluh satu persen bumi terdiri dari air. Sedangkan yang berupa air tawar tersedia hanyalah 2% saja namun yang mudah dan dapat diakses hanyalah 1% untuk tujuh milliar manusia yang hidup saat ini. Sisanyaterjebak dalam bentuk lapisan es di Artik. 

Dalam perdiksi secara kualitatif yang dilakukan oleh National Geographic hanya terdapat 0,0007 persen air tawar di planet ini yang tersedia. Bayangkan ketika masyarakat dunia mengalami kondisi kekurangan air bahwa manusia akan berangsur-angsur mengalami kondisi ketika kerongkongan akan terasa gatal dan kering, karena sulitnyaakeses air untuk diminum. Namun sebenarnya, kebutuhan air yang menjadi kebutuhan kita hanya sepersekian kecil saja dari angka tersebut. Kebutuhan sebenarnya atas akses air tawar lebih banyak meliputi produksi pangan dan pertanian diangka 70-80% dan tambahan 10-20% untuk sektor industri. Tentunya saat penduduk dunia tumbuh melebihi angka sembilan milliar jiwa di 2050, angka-angka yang terhitung akan jauh meningkat drastis melampaui dari angka yang disebutkan. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh bersama pertumbuhan penderitaan kekeringan atas akses air. Air diprediksi akan menjadi barang mewah dan sangat mahal di masa depan. Di masa depan tidak semua orang dapat mengakses air dengan cukup hanya mereka yang beruntung yang dapat mengakses air. 

Terdapat dua kategori yang dapat melalui pendekatan realita ‘air’ hari ini; a). terdapat orang-orang yang dapat mengakses air secara cuma-cuma kemudian menghambur-hamburkannya, dan b). orang-orang yang tidak dapat mengakses air kemudian berangsur-angsur mengalami penurunan kondisi kesehatan, terpaan penyakit serius hingga menyebabkan kematian. Krisis air global pada dasarnya dipicu oleh ketidakadilan dan ketidaksetaraan, sehingga penyelesaian masalah ini perlu melalui upaya kesetaraan ekopolitik agar dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut. Setidaknya satu miliar orang di seluruh dunia menghadapi tantangan dalam mendapatkan akses yang memadai ke air. Namun, krisis air global tidak seperti yang beberapa orang usulkan, terutama disebabkan oleh kelangkaan air. Meskipun pasokan air terbatas dan lembaga yang tidak memadai memang bagian dari masalah tersebut, sehingga krisis air global pada dasarnya adalah masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan. 

Pada meta-analisis dari 22 studi kasus tentang keterlibatan manusia dengan air, menggunakan analisis perbandingan kualitatif (QCA) untuk mengidentifikasi hasil sistem sumber daya air dan faktor-faktor pendorongnya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan hasil yang berbeda untuk kesejahteraan manusia yang dapat dikelompokkan menjadi enam “sindrom” baru: a). penurunan air tanah, b.) kerusakan ekologis, c). konflik yang dipicu kekeringan, d). kebutuhan subsisten yang tidak terpenuhi, e). perebutan sumber daya oleh elit, dan f). alokasi ulang air untuk alam. Untuk sindrom-sindrom lainnya yang bukan merupakan adaptasi yang dapat terjadi, tiga karakteristik memberikan alasan untuk khawatir: (1) ketidakberlanjutan—penurunan stok air atau fungsi ekosistem yang dapat mengakibatkan penurunan tajam dalam kesejahteraan manusia di masa depan; (2) kerentanan—variabilitas tinggi dalam ketersediaan sumber daya air yang dikombinasikan dengan kapasitas penanganan yang tidak memadai, mengakibatkan penurunan sementara dalam kesejahteraan manusia; (3) kelangkaan kronis—akses yang tidak memadai danoleh karena itu kondisi kesejahteraan manusia yang rendah secara persisten. Semua sindrom dapat dijelaskan oleh seperangkat faktor kausal yang terbatas termasuk dalam empat kategori: perubahan permintaan, perubahan pasokan, sistem tata kelola, dan infrastruktur/teknologi. 

Dengan mempertimbangkan dasar-dasar sebagai anggota dari sebagian dari kelas sindrom, tentunya masyarakat dapat mulai melacak jalur penyebab umum dari krisis air yang berlangsung. Melalui analis dan kritik pada perencanaan sumber daya air mungkin dapat mengembangkan kebijakan air yang lebih baik untuk mengurangi kerentanan dan ketidakadilan pada pengelolaan sistem air tawar yang ada. Dan akan sangat berdampak di masa depan. Produksi atas air bersih yang melonjak drastis dari tahun-tahun sebelumnya bersama dengan pertumbuhan populasi masyarakat dunia yang terus meningkat. Di banyak daerah perkotaan, kelangkaan air sudah menjadi kenyataan. Hal ini membuat banyak kota tidak siap menghadapi pertumbuhan populasi yang terus cepat di masa depan. Tanpa sumber daya atau infrastruktur yang tepat, jutaan orang meninggal karena air yang terkontaminasi setiap tahun. Daerah-daerah yang sudah mengalami kasus paling parah dari stres kekurangan air juga mengalami tingkat pertumbuhan populasi tertinggi. Di banyak daerah yang mengalami stres kekurangan air, tingkat kelahiran hampir dua kali

lipat terjadi dari indeks rata-rata global. Daerah-daerah ini juga cenderung memiliki langkah-langkah pada perencanaan keluarga yang terbatas. Penyediaan dan penyuluhan kontrasepsi modern serta program edukasi kesehatan reproduksi di daerah-daerah ini dapat membantu mereka yang ingin mencegah kelahiran. Mungkin ini dapat sedikit membantu memperlambat pertumbuhan populasi dan dengan demikian juga permintaan terhadap air. 

Laporan terbaru dari Integrated Regional Information Networks (selanjutnya disebut IRIN) yang berjudul ‘’Running Dry: The Humanitarian Impact of the Global Water Crisis’’ mencerminkan konsensus yang semakin meningkat tentang masalah air. Kita sering diberi tahu bahwa ada krisis air global dengan skala yang belumpernah terjadi sebelumnya yang sedang berkembang. Laporan tersebut mengutip pernyataan singkat oleh Fred Pearce, penulis When Rivers Run Dry, menunjukkan dimana tanggung jawabatas krisis dan apa dampak bagi kemanusiaan yang mungkin terjadi: ‘Permintaan kitaterhadap air telah menjadikan kita seperti vampir, menguras darah dunia. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kekeringan dan kelaparan massal secara global?’. Laporan mendalam IRIN merujuk pada daftar dari laporan, penulis, dan lembaga lain untuk membangun argumennya tentang eskalasi krisis air. Menurut Asosiasi Hidrologi Internasional, dengan penarikan air global sekitar 600–700 km/tahun air tanah. Sedangkan air tanah adalah ‘bahan mentah yang paling banyak diekstraksi di dunia’. Beberapa ahli juga memperingatkan bahwa jumlah air yang digunakan secara global harus lebih dari dua kali lipat jumlah yang diisi kembali oleh curah hujan di setiap tahunnya, serta pernyataan tegas tentang ancaman terhadap keamanan internasional –bahwa di abad ke-21, konflik bersenjata, baik internasional maupun perang sipil, ‘akanterjadi karena air, bukan karena minyak – menjadi umum. ‘Krisis air’ yang diantisipasi bukan hanya merupakan masalah ketidakcukupan pasokan air, tetapi juga mencakup potensi dampak serius terhadap keamanan global. 

Ketika sumber air semakin menipis dan teknologi yang dibutuhkan sangat mungkin dapat dikapitalisasi oleh elit dan orang yang tidak bertanggung jawab padasituasi krisis yang akan terajadi secara global. Dilema privatisasi sumber air danekspolitasi sumber resapan semakin gencar upaya green washing dilakukan di era industrialisasi bertajuk 4.0/5.0 belaka. Argumen luas dan intervensi dalambuku berjudul ‘’Water Struggles As Resistance to Neoliberal Capitalism’’ karya Madeline Moore yang merupakan seorang peneliti dan bekerja pada bidang ekologi sosial, ia menempatkanduakasus yang ditelitinya dalam konteks krisis air global dan hubungannya denganreproduksi kapitalis. Konsep kunci seperti ‘kerusuhan reproduksi’ pada krisis air global dan perjuangan kelas. Dalam menetapkan kekuatan penggerak di balik krisis air global, gambaran sejarah singkat tentang manajemen air sangat dalam hubungannya denganakumulasi produksi ekonomi kapitalis, pembentukan negara, dan perjuangan kelas. Dengan mendemonstrasikan bagaimana pemahaman tentang apa itu air serta bagaimana, dimana seharusnya digunakan, telah berubah untuk merefleksikan paradigma politikekonomi yang sangat dominan, ini menunjukkan mengapa eksploitasi air dan perjuangan kelas yang terpicu berkecenderungan lebih luas melekat dalam kapitalisme ekstraktif. 

Belum lagi terpaan badai perubahan suhu di bumi yang meningkat sangat drastis akan membawa iklim produksi terhadap air menjadi tidak stabil. Namun Biswas.A, 2005, melakukan penelitian lebih awal pada sebuah jurnal sumber air bertajuk ‘’An Assessment of Future Global Water Issues’’ ia dengan gamblang memberikan pandangan bahwakrisis air global kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan kualitas air dan kekurangan dana investasi, bukan oleh kelangkaan air. Hal ini sangat menarik, setelah beberapa dekade diabaikan, air baru-baru ini menjadi bagian dari agenda politik internasional. Namun nampaknya fokus dari perdebatan tentang krisis air global masihsalah. Krisis utama kemungkinan besar tidak berasal dari kelangkaan air, meskipun beberapa negara akan kesulitan mengelola dan menyelesaikan masalah atas air. Sebaliknya, kemungkinan besar krisis air global berasal dari penurunan kualitas air yangterus menerus dan cepat serta ketersediaan dana investasi yang ada. Kedua isu ini tidak tercermin dengan memadai dalam perdebatan air global. Selain target-target terkait dengan Tujuan Pembangunan Milenium pada air, kemungkinan besar tidak akan dicapai secara universal pada tahun 2050 nanti, kecuali konsumen atau setiap individu harus membayar lebih banyak untuk layanan air yang mereka terima. 

Subsidi atas air harus ditargetkan secara sangat spesifik untuk kaum miskin. Dalam menghadapi masa depan, krisis air tidak hanya berdampak pada ketersediaan air untuk kebutuhan manusia, tetapi juga memiliki konsekuensi serius terhadap ekosistem dan keberlanjutan hayati. Kekurangan air dapat memicu kepunahan banyak spesies mahluk hidup yang bergantung pada ekosistem air untuk kelangsungan hidupnya. Ekosistem air yang terganggu dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekologis, merugikan keanekaragaman hayati, dan mengancam keberlanjutan ekosistem global. Selain itu, krisis air juga dapat memicu migrasi besar-besaran penduduk. Ketidakpastian dalam ketersediaan air dapat mendorong manusia untuk mencari daerah yang lebih aman dan berlimpah air. Migrasi ini dapat menimbulkan tekanan pada wilayah yang menerima para migran, memicu konflik atas sumber daya air dan menciptakan ketegangan sosial di antara komunitas yang bersaing. 

Ketidakpastian dan ketegangan terkait sumber daya air dapat memicu konflik berskala lokal hingga konflik berskala saudara di antara negara atau komunitas. Persaingan sengit untuk menguasai sumber daya air yang semakin langka dapat menjadi pemicu potensial bagi konflik bersenjata. Negara atau komunitas yang berbagi sungai atau danau dapat terlibat dalam persaingan keras untuk mengamankan akses terbaik, meningkatkan risiko terjadinya konflik berskala regional. Pentingnya mengatasi krisis air dengan pendekatan holistik tidak hanya untuk memastikan keberlanjutan air sebagai sumber kehidupan, tetapi juga untuk mencegah dampak-dampak buruk terhadap lingkungan, kehidupan manusia, dan stabilitas geopolitik. 

Oleh karena itu, langkah-langkah preventif dan diplomatis saja tidak akan cukup. Langkah-langkah untuk segera mengatasi urgensi krisis air harus diperkuat sejak dini untuk mencegah potensi kerugian besar di masa depan bagi umat manusia. Kesadaranglobal serta kerja sama kolektif skala lokal dan internasional menjadi kunci dalammenciptakan solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi tantangan krisis air secara menyeluruh. 

Narasi: Zain Nabil Haiqal

Sumber Referensi: 

  1. Biswas, A. (2005). An Assessment of Future Global Water Issues. International Journal of Water Resources Development, 21, 229 – 237. 

2.Cooper, R., Hannah, D., Krause, S., & Lynch, I. (2021). From water2me to water4all: Democratizing the discussion of global water futures through crowdsourcing of individual water values. Hydrological Processes, 35. 

  1. Srinivasan, V., Lambin, E., Gorelick, S., Thompson, B., & Rozelle, S. (2012). The nature and causes of the global water crisis: Syndromes from a meta‐analysis of coupledhuman‐water studies. Water Resources Research, 48. 
  2. Swyngedouw, E. (2014). From Water Justice to Eco-political Equality: PoliticizingWater?, Viewpoints – Santa Cruz Declaration on the Global Water Crisis. Water

International, 39, 258-259. 

  1. Fontein, J. (2008). The Power of Water: Landscape, Water and the State in Southernand Eastern Africa: An Introduction. Journal of Southern African Studies, 34, 737 – 756.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *