Kendaraan Listrik di Era Romantika Batu Bara

Siapa yang tidak ingin memiliki kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan, yakni kendaraan listrik. Kendaraan yang disebut-sebut paling mutakhir danfuturistik di abad 21 ini. Secara operasional kendaraan listrik diklaim ramah lingkungan juga memiliki pembakaran dengan emisi karbon lebih rendahdibandingkan kendaraan konvensional. Kendaraan listrik kini tengah menjadi trend yang banyak digandrungi, dipelbagai kalangan, di Indonesia. 

Penjualan dan produksinya yang meningkat, merek dagang yang meroket, iklan-iklannya yang ramai berjamur di-jagad maya serta bertaburan terpampang di baliho-baliho jalan raya. Dalam kesempatan ini, sayamelakukan studi konsensus serius mengenai kendaraan listrik di Indonesia, saya menemukan angka cukup menarik dimana Pemerintah Indonesia merencanakan wacana signifikan di tahun 2025 nanti, dimana industri kendaraan listrik (EV) harus mencapai 2.500.000 pengguna. Joko widodosebagai presiden mewacanakan kendaraan listrik agar masuk ke dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia dengan merincinya medetail masuk kedalam Pengembangan Infrastruktur kendaraan listrik dalam narasi Rencana Jangka Menengah Nasional (RJMN) tahun 2020- 2024. RJMN ini bernarasi tentang fokus Indonesia mengembangkan kunci di produksi hulu kimia, logam serta pembuatan produk yang meningkatkan nilai dan daya saing. Inisasi pemerintah untuk industri kendaraan listrik di Indonesia, menerbitkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 2019, yang berisi dukungan utama untuk pengembangan kendaraan listrik. Beberapa peraturan untuk mendukung pertumbuhan EV termasuk pengurangan pajak pada EV baru dan pembatasan penggunaan kendaraan yang tidak memenuhi standar uji emisi. 

Pada tahun 2022, penjualan EV baru di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 700% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan hingga bulan Agustus 2023, kendaraan listrik terjual sebanyak 8.200 unit, pencapaian ini meningkat lima kali lipat di tahun sebelumnya. Joko Widodo juga gencar menekankan di beberapa kementerian/lembaga pemerintah, perusahaan milik negara, pemerintah daerah, dan beberapa pemain sektor swasta untuk beralihke EV dengan menggunakan lebih banyak EV untuk operasional mereka. Padatahun 2025 nanti, lembaga-lembaga tersebut akan menggunakan mobil listrik, sepeda motor listrik, dan bus listrik sebanyak 19.220 unit, 757.139 unit, dan 10.227 unit masing-masingnya. Pemerintah Indonesia memberikan mandat kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan listrik milik negara, untuk membangun infrastruktur pengisian daya EV, dengan perkiraan pengeluaran sebesar 1 miliar dolar AS di tahun 2030. Pada tahun 2025, Indonesia berencana harus memiliki 6.318 stasiun pengisian EVdan 10.000stasiun penukaran baterai secara mandiri. 

Korlantas Polri di bulan Februari 2023 lalu, mencatat jumlah kendaraan di Indonesia, terdapat 153.400.392 unit. Angka tersebut mencakup 147.153.603 unit kendaraan pribadi yaitu 127.976.339 unit sepeda motor (87 persen) dan19.177.264 mobil pribadi. Sisanya merupakan angkutan barang dan orang, yaitu 5,7 juta unit mobil besar, 213.788 unit bus, dan 85.113 unit kendaraan khusus yang beroperasi aktif. Angka ini berbanding terbalik dengan wacana kendaraan listrik yang digaungkan yang menempatkan fakta jumlah kendaraan listrik di Indonesia dari jumlah tersebut kurang dari satu persen dari kendaraan konvensional. 

Memang kendaraan listrik jauh lebih ekonomis dibanding kendaraan konvensional. Sementara kendaraan konvensional membutuhkan 15.000rupiah/liter sedangkan kendaraan listrik hanya membutuhkan 2.000 rupiah/liter. Selain itu, berdasarkan tingkat emisi karbon, kendaraan listrik berkontribusi setengah dari emisi yang dilepaskan oleh kendaraan konvensional, sebanyak sekitar 1,2 kg karbon jika dikonversikan per liter emisi listrik, namun sayangnya kendaraan listrik yang beroperasi dan diproduksi hari ini bersumber energi listrik dari energi kotor, yakni batu bara. Gencarnya hilirisasi kendaraan listrik yang diwacana akal-akalan pemerintah yang hanya sekedar business as usual atau bertajuk pada political agenda saja, jika sumber listriknya tetap tidak menggunakan energi baru terbarukan (EBT) serta masih bersikeras meningkatkan penetrasi dan wacana produksi jangka panjang menggunakan energi fosil. Tidak dapat dipungkiri, saat ini Indonesia masih menjadi produsen batu bara terbesar ketiga dunia dengan kemampuan produksi sebanyak 687 metrik ton pertahun, terdapat 234 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang beroperasi serta total kapasitas sebanyak 4,3 gigawatt, dengan cadangan sumber hingga tahun 2080 dari data yang didapat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KeSDM). 

Fakta ini sangat memungkinkan, kecenderungan konsumsi energi kotor padapasokan listrik yang diberikan pada kebutuhan primer sehari-hari dan skunder masyarakat seperti contohnya kendaraan listrik ini bergantung pada produksi batu bara yang amat melimpah. Kecintaan Perusahaan Listrik Negara yang menumpukkan produksi listrik pada batu bara menimbulkan absolutitas dan efek domino belaka pada percepatan kerusakan lingkungan secara besar- besaran. 

Setelah batu bara di ekstraksi (biasanya menggunakan blasting atau ledakansecara sengaja) dari gunung atau sumber situs yang tersedia, batu bara diangkut melalui sabuk pengangkut atau dengan truk ke pusat-pusat pengolahan, di mana batu bara dihancurkan dan dicuci secara kimia sebelum dimuat ke truk, kereta api, maupun tongkang untuk dikirim ke PLTU. Proses pencucian menghasilkan miliaran galon air yang terkontaminasi dengan logam, bahan tidak terbakar lainnya, dan bahan kimia pembersih; air ini kemudian disimpan di penampungan permukaan atau disuntikkan ke dalam tanah. Kendaraan pengangkut batu bara umumnya bergantung pada bahan bakar diesel, yang berkontribusi pada polusi udara lokal. Formula pembersihan batu bara bersifat rahasia tetapi mengandung banyak bahan kimia; salah satu bahan kimia ini [4-metilsikloheksanemetanol (MCHM)] yang memungkinkan bocor ke pasokan air minum masyarakat. 

Pada tahun 2014, di Charleston, West Virginia, kasus kebocoran ini terjadi dan mengganggu akses air minum untuk 300.000 orang. Bukti telah menunjukkan bahwa sumur-sumur dalam masyarakat juga kadang-kadang terpengaruh oleh air yang terkontaminasi dari aktivitas pengolahan batu bara. Pembakaran batubara dan limbahnya pasca-pembakaran akan melepaskan polutan seperti COx, SOx, NOx, PM, dan logam berat yang menyebabkan dampak kesehatan jangka panjang dan ganguan karsinogenik. Ini dikuatkan melalui studi epidemiologis yang dilakukan di 10 negara penghasil batu bara. Studi tentang hubungan antara masayarakat dan pertambangan batu bara, dimana hasilnya cenderung buruk. Orang-orang yang tinggal di dekat tambang batu bara mengalami tingkat mortalitas yang signifikan lebih tinggi akibat penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal, penyakit pernapasan, penyakit gigi, dan kanker. Cacat lahir juga lebih umum terjadi pada ibu yang tinggal di daerah tambang batu bara dibandingkan dengan bagian lain. Kualitas hidup terkait kesehatan mental juga signifikan lebih buruk terkait. 

Beberapa studi yang dilakukan juga menggunakan desain ekologis dengan data pada tingkat daerah dan yang lainnya merupakan studi korelasi menggunakan data tingkat individu. Studi yang menggunakan pendekatan metodologis yang lebih canggih seperti skoring kecenderungan, analisis perbedaan dalam perbedaan, atau pemodelan spasial juga melaporkan hubungan signifikan antara aktivitas pertambangan dan buruknya lingkungan masyarakat. Bukti telah menunjukkan efek timbal–balik, ketika studi dilakukan pertambangan batu bara besar yang diukur dengan ton produksi dibandingkan dengan daerah dengan produksi lebih sedikit. Ketika dipertimbangkan dari perspektif kesehatan masyarakat, manfaat ekonomi dari industri pertambangan batu bara (keuntungan yang dihasilkan secara langsungdan tidak langsung dari kegiatan industri ini) melampaui biayanya (kematianprematur yang terkait dengan pertambangan). 

Jika kendaraan listrik digadang-gadang menjadi kendaraan abad ini, maka harus dilihat dari transisi lain secara lebih serius. Tinjauan ekonomi kendaraan listrik ini maka sangatlah ekonomis, selain perlakuan khusus seperti pembebasan pajak, subsidi pada pembelian, diprioritaskan pada akses ganjil- genap, dan rata rata efisiensi jarak dari pengisian bahan bakar yang lebihringan. Namun yang perlu digaris bawahi ialah faktor-faktor yang tidak terlihat, seperti faktor lingkungan dan kesehatan yang menjadi sisi gelap, tidak dibicarakan, dan terkesan disembunyikan. Dengan demikian wacana keberlanjutan kendaraan listrik tidak hanya tergantung pada kendaraan itu sendiri, tetapi juga pada sumber bahan bakar yang digunakan untuk menghasilkan energinya. Pentingnya transisi kendaraan listrik dalam konteks perlindungan lingkungan dan pengurangan emisi karbon mutakhir dari hulu produksi, kebijakan yang berwawasan ekologis, dan hilir pemakaiannya oleh konsumen. Transisi keberlanjutan kendaraan listrik yang diwacanakan hanyaakan sia-sia. Jika tidak memperhitungkan aspek humanis, ekologis, dan dominasi kecanggihan atas teknologi saja, tetapi harus mempertimbangka nbencana lingkungan dari ekspolitasi lingkungan yang sudah terjadi dansisi kesehatan masyarakat dari part-part pendukung produksinya. Selain batu bara sebagai penyokong energi utama sebagai penggerak kendaraan listrik saat ini, namun manuver utama dari kendaraan listrik masih melibatkan ektraksi skalabesar pada lithium dan kobalt yang sama merusaknya seperti ekstraksi batubara. Tentunya transformasi ini harus didukung oleh kebijakan sumber energi yang terbarukan, pengembangan bahan baku unit kendaraan listrik yang lebih layak, serta minim ekstraksi lingkungan. Bukan dari hasil ekstraksi yang berkelanjutan untuk mendorong wacana besar perubahan perilaku transportasi di Indonesia. Seperti prioritas prduksi masal pada energi baru terbarukan dan perlahan-lahan menghempaskan penggunaan energi dan bahan baku kotor, agar dapat memberikan manfaat maksimal dalam upaya mengembangka nkendaraan listrik sembari mengurangi jejak karbon dan melindungi lingkunganserta kesehatan masyarakat. 

Referensi: 

  1. Batu Bara – Indonesia Invesment, 2023
  2. Statista Research Department. (2023, August 15). Coal production in metrictons in Indonesia 2013-2022. Statista
  3. Kendaraan Listik – Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, 2023
  4. Pandey, B., Agrawal, M., Singh, S. (2014). Assessment of air pollutionaround coal mining area: Emphasizing on spatial distributions, seasonal variations and heavy metals, using cluster and principal component analysis. Atmospheric Pollution Research, 5(1), 79-86.
  5. Oberschelp, C., Pfister, S., Raptis, C., & Hellweg, S. (2019). Global emission hotspots of coal power generation. Nature Sustainability, 2, 113-121. 6. Maharani, S., Purwanto, P., Hidayat, J., & Triraharjo, J. (2018). Potential Formation of Acid Mine Drainage In Putra Perkasa Abadi Coal MiningCompany – Girimulya Site (BIB), Tanah Bumbu Regency, South Kalimantan. , 73, 04003.
  6. Finkelman, R., Orem, W., Castranova, V., Tatu, C., Belkin, H., Zheng, B., Lerch, H., Maharaj, S., & Bates, A. (2002). Health impacts of coal and coal use: Possible solutions. International Journal of Coal Geology, 50, 425-443.
  7. Finkelman, R. (2004). Potential health impacts of burning coal beds andwaste banks. International Journal of Coal Geology, 59, 19-24. 9. Munawer, M. (2017). Human health and environmental impacts of coal combustion and post-combustion wastes. Journal of Sustainable Mining.
  8. Hendryx, M., Zullig, K., & Luo, J. (2020). Impacts of Coal Use on Health.. Annual review of public health.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *