Antara Liberalisasi dan Krisis Pangan Kita

LIBERALISASI PASAR MENGUBAH PRODUKSI PANGAN DUNIA. Sama halnya dengan globalisasi yang memantik lebih banyak resiko bagi petani-petani kecil di negaraberkembang saat mencoba menambah nilai produksinya. Sistem berskala besar seperti bahan anorganik menjadi salah satu merisaukan dalam kontribusi pengembangan bahan pangan dalam menyiasati pembangunan berkelanjutan di sektor pangan. Dalam praktiknya agar pertanian berjalan lebih baik membutuhkan mitigasi dalam resiko naiknya harga pangan, kerentanan terhadap bibit bahan pangan, terpaan krisis iklim dan lingkungan hidup. Dalam Laporan FAO tahun 2012, pada sebuah konsensus antara para ilmuwan dan pemerintah berbagai negara menimbulkan paradigma lama tentang energi dan pertanian pada kimia industrial merupakan suatu konsep usang yang berulang. Dalam laporan yang menunjukkan bahwa peran pertanian dari petani skala kecil menerapkan cara berkelanjutan dalam pengelolaan tanah dapat menjadi faktor bertahan dari kelangkaan air, erosi tanah, dan perubahan iklim. Saat revolusi hijau berlangsung dimana lebih banyak dilema atas pengorbanan lingkungan dan keadilan sosial. Dimana perhatian lebih dititikberatkan pada produksi pertanian skala besar sehingga melupakan sektor pertanian skala kecil. Selain itu, ketika revolusi hijau berlangsung di suatu negara, negara itu sering kali melupakan pemenuhan atas akses pasar yang merata, infrastruktur yang menunjang, serta pembiayaan guna melibatkan petani-petani skala kecil agar dapat masuk kedalam rantai pertanian skala kawasan dan lingkup mancanegara. 

Di tengah terpaan badai ancaman krisis pangan, sektor pertanian perlu lebih banyak diperbincangkan kembali khususnya dalam ruang-ruang diskusi akademis. Lipton Menuliskannya dengan tegas karyanya yang begitu fenomenal pada Land Reform in Developing Countries, Property Rights, and Property Wrong, ia mendefinisikan land reform harus berfokus pada perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah yang menegaskan bahwa perwujudan klaim-klaim atas tanah pertanian yang dijalankan harus memberi manfaat pada petani kecil dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka. Land reform bukan hanya dijalankan melalui suatu program tertentu namun memerlukan political will yang harus diwujudkan dengan komitmen serius pemerintah sebagai pemegang mandat. Karena landreform sangat membutuhkan kekuatan pemerintah yang kuat serta adil serta sanggup memaksa/government complusion. Land reform bukan hanya kebijakan semata dari segi pemberdayaan bagi petani yang bekerja di wilayah pedesaan melainkan dengan kebijakan penindakberdayaan para penguasa, pemilik, pengguna, pemanfaat tanah, kekayaan alam dan wilayah tertentu secara nyata.

Situasi krisis pangan tidak akan terjadi dengan begitu saja tetapi dengan pengkondisian oleh campur tangan orang yang serakah. Ini diperkuat dengan salah satu statement tokoh gerakan nirkekerasan yakni Mahatma Gandhi. Gandhi pernah berkata bahwa dunia ini cukup untuk semua namun tidak akan pernah cukup bagi segelintir orang yang serakah. Krisis yang menyebabkan segala bentuk upaya dalam membuka celah bagi orang orang yang serakah untuk melakukan intervensi, makaperlu untuk dikritisi lebih lanjut. Beberapa waktu yang lalu, baru saja dikembangkankawasan estate/kawasan pangan untuk menanam beras di Papua dengan melakukan penggusuran hutan sagu serta di Kalimantan di kawasan gambut, padahal hal seperti yang kita ketahui bahwa Papua memiliki sumber pangan sendiri yaitu sagu dan Kalimantan terdapat alternatif makanan lainnya. 

Upaya penyeragaman ini dilakukan untuk kepentingan pembuatan kebijakan agar mendapatkan anggaran subsidi pada beras, penyedia pupuk dan benih, sehingga mereka akan diuntungkan ketika pasar mereka besar. Berdasarkan data, Indonesia Merupakan negara dengan pembuang makanan terbesar kedua. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kebijaksanaan kita sebagai konsumen dalam perihal pangan. FAO (Food and Agriculture Organization) menyatakan bahwa yang terpenting sumber pangan tersedia, tidak peduli pangan itu dari mana. Hal tersebut menjadi celah perusahaan-perusahaan untuk menyediakan pangan secara tidak lazim. Tercatat pada akhir periodenya, estate pangan yang digencarkan membuahkan tertangkapnya Menteri Pertanian Indonesia atas dugaan korupsi, nepotisme, dan pencucian uang. Bukanlah suatu contoh yang paling konkrit dimana meski di tingkat tertinggi sektor pertanian kita, secara terang-terangan melakukan kongsi dan upaya jahat. 

Selama pertanian kita masih mengikuti konteks perjanjian WTO (World Trade Organization) selama itu pula kita tidak bisa mandiri pangan. Petani mengeluhkan hasil panen yang dijual murah, sedangkan konsumen mengeluhkan produk yang susah didapatkan sehingga menyebabkan harga pangan melambung. Hal tersebut disebabkan karena dua hal yaitu produksi dan distribusinya. Mengenai krisis pangan sekarang atau nanti, kita perlu curiga pada pihak pertama dan memetakan kepentingan mereka dalam menyampaikan perihal permasalahan yang menjadi kritis. Untuk itu yang dapat kita lakukan sebenarnya dapat dengan membangunkekuatan dari bawah dalam komunitas-komunitas kecil atau organisasi non pemerintah disektor pertanian. Setelah kita bisa menjalankan itu, di saat yang sama kita dapat menumbuhkan kepercayaan serta menjadi yakin bahwa situasi terjadinya krisis pangan yang akan terjadi dapat dilalui dengan cara jelas dan paling mutakhir. Selama bumi mengalami kenaikan suhu secara cepat sebelum tenggat waktu tertentu, maka seluruh masyarakat dunia harus mempersiapkan bekal berupa edukasi pertanian mandiri. 

Pertanian di Indonesia dalam sejarahnya dilakukan dalam eskalasi kecil, melalui pertanian keluarga.Setidaknya mengemukakan fakta bahwa pertanian dari desa tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota yang siklus hidupnya lebih cepat. Dengan metode adaptasi dengan diberlakukan kembali dorongan atas pertanian mandiri berbasis keluarga serta edukasi secara menyeluruh yang dapat dimulai sejak pendidikan usia dini dapat meminimalisir ketidaksiapan ketika krisis pangan menerpa. 

Saat edukasi menanam diterapkan kembali di sekolah-sekolah dan menjadi mata pelajaran wajib, ini termasuk dengan pemuliaan tanah, air, dan ekosistem hayati dengan memaksimalkan lahan, upaya penyelarasan dengan alam tanpa campur tangan bahan kimia, dan menerapkan konsumsi pangan secara sadar setidaknya dapat menumbuhkan cakrawala pertanian Indonesia agar membaik dan tidak mengandalkan sistem impor dari negara luar. Badai efek samping berupa penyakit genetik, menurunnya pertumbuhan mental pada anak, penyakit kronik yang menerpa sejak berlangsungnya revolusi hijau merupakan fakta bahwa kegagalan revolusi hijau sebenarnya tengah kita hadapi secara nyata. Sebuah jurnal yang menggemparkan menemukan temuan bahwa di tahun 2040, akumulasi tingkat autisme meningkat hingga empat kali lipat sejak tahun ini, angka itu mencuat sebanyak 110% berupa fakta 1 dari 5 anak yang dilahirkan nantinya akan mengidap autis akibat racun yang terus menerus diberikan pada bahan pangan kita saat revolusi hijau berlangsung tiga dekade lalu. 

Meskipun tidak ada keputusan paling ideal dalam dilema pertumbuhan populasi manusia di Bumi yang terus meningkat ini, bahwa proyeksi pertumbuhan populasi manusia di 2050 mencapai angka 9,7 miliar orang akan dipastikan memerlukan kebutuhan pangan tiga kali lipat lebih banyak untuk bertahan hidup di tengah lahan-lahan menjadi tidak produktif akibat ekstraksi sumber daya yang dijadikan alasan sebagai pertumbuhan dan pembangunan atas nama ‘’keberlanjutan’’. Fakta yang dihadapi bahwa Bumi semakin memanas dan kita menghadapi masalah lain sangatlah kontras sebagai penghambat upaya mendorong kemandirian pangan yang selalu digencarkan.

Narasi: Zain N. Haiqal 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *