Saat ini bumi semakin bergejolak. Bencana kemanusiaan terlebihnya alam terjadi dimana-mana. Mulai dari banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung, taifun dan lain-lain. Selain itu, krisis lingkungan yang terjadi saat ini menunjukan betapa hal ini telah mengancam keberadaan bumi dan segala yang hidup didalamnya.
Kasus kerusakan lingkungan ini tak mungkin tidak mengarah kepada umat manusia. Dengan latar belakang ekonomi dan kesejahteraan sesama, manusia mengeksploitasi sumber daya alam dengan berlebihan. Hal ini memicu terjadinya degradasi lingkungan. Kekuatan daya dukung alam semakin menurun. Alam tak mampu lagi menanggung beban yang banyak. Tak ayal, manusia dijadikan satu-satunya penyebab utama atas rusaknya alam ini.
Hal ini menimbulkan persoalan panjang dan pertanyaan penting. Mengapa manusia yang diberikan akal oleh Allah Swt tak bisa hidup sejahtera berdampingan dengan alam? Berbagai analisa menyimpulkan bahwa ada disorientasi atau kesalahan paradigma manusia tentang sistem lingkungannya. Cara pandang itu adalah dengan melihat alam sebagai bagian terpisah dari manusia. Pandangan ini umumnya mengakar dari pandangan antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat dari sistem alam.
Dengan demikian, alam menjadi sub-ordinat dari manusia. Konseskuensi logisnya adalah alam mesti menyumbang banyak dan lebih banyak lagi kekuatan untuk mendukung kehidupan manusia dan alam itu sendiri atau manusia mesti mengeksploitasi alam demi kehidupannya.
Naess salah seorang tokoh ekosentrisme -sebuah paham etika lingkungan- pernah mengatakan bahwa solusi atas krisis lingkugan adalah dengan merubah secara fundamental dan radikal paradigma manusia dalam melihat alam dan sistem lingkungannya. Penggunaan praktis ilmu sains dan teknologi tidak bisa menyelesaikan sampai akar persoalan ini. Sains dan teknologi lebih bersifat praktis dan pragmatis. Revolusi perilaku berkehidupan masyarakat dalam memandang alam akan tercipta jika pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kultural-religius atau teologis.
Teologi Manusia-Alam
Masing-masing Agama terutama Islam tentunya mempunyai konsep terkait bagaimana manusia seharusnya mengelola lingkungan dengan baik dan benar. Dalam Islam, memelihara lingkungan merupakan kewajiban yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Islam memandang bahwa manusia dan alam bukanlah sesuatu yang terpisahkan atau saling tersub-ordinatkan satu sama lain.
Maka dari itu, secara teologis, manusia mesti mampu menghadirkan Tuhan dalam setiap aspek berkehidupan manusia termasuk dalam kegiatan pemanfaatan alam dan pengeloloaan lingkungan. Dengan demikian, teologi dalam kaitannya dengan lingkungan bersandar pada hubungan antara Tuhan, manusia dan alam, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan hubungan.
Pandangan Islam tentang hubungan manusia dan alam tidak bersifat eksploitatif dan hirarkis. Sebaliknya, manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam (holistik). Maka dari itu eksistensi manusia dan alam semestinya saling bergandengan dan melengkapi satu sama lainnya. Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bagaimana konsep kekhalifan manusia di bumi (Qs. Al-Baqarah:30, Al-Isra:70, Al-An’am:165 dan Yunus:14). Sebagai wakil Tuhan dan pemimpin di bumi, manusia mesti memperlakukan alam dengan bijak.
Pun, sekaligus mengambil keputusan yang tidak merugikan alam serta manusia itu sendiri, semisalnya terjadi konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Pengambilan keputusan tersebut pun harus dilakukan dengan adil dan tidak berpihak pada kelompok atau makhluk tertentu didalam bumi.(Qs. An Nisa:58)
Hubungan manusia-alam ini pun mesti dilihat dalam kacamata teologis. Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, akan berhubungan juga dengan alam sebagai ciptaan-Nya. Hubungan manusia dengan Tuhan ini mesti memerlukan media yakni alam. Dengan kata lain, manusia membutuhkan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Tuhan.